CERPEN ISLAMI
TIGA TAHUN YANG LALU DI 28 DESEMBER
Oleh : Aditya Krisna Prabandaru
Aku bergegas berlari dari lantai
atas rumahku di iringi suara ibuku berteriak, “love,cepat!, di depan ibuku siap mengunci pintu
gerbang sedangkan ayah, kakak dan adiku sudah di dalam mobil, aku masuk dengan nafas terenggah enggah,
selalu seperti itu.Diperjalanan aku membisu, kurang satu lagi,dan aku mulai
menghitung,satu,dua,tiga,nah!,ibuku sudah menengok kearah kami, tausyiyah
segara dimulai.
“kalian itu,ibu
bapak hanya minta sedikit hal, atung- uti itu dikunjungi saja sudah senang,apa
sih susahnya, Selalu saja ada alasan,kalian belum jadi orang tua, kalau sudah
jadi orang tua, baru kalian mengerti,
betapa berartinya kunjungan dari anak cucu”.
Mobil berhenti didepan rumah bercat hijau, pohon jambunya
berbuah,asiik,akan ada kegiatan pengusir bosanku disini, aku segera meloncat
keluar, uti membuka pintu sambil tersenyum, kami berebut menyalami, di sofa
tampak atung sedang tiduran, sakit diabetes itu tak juga pergi dari badannya
yang semakin kurus saja, ada yang berubah, dikedua kaki ada bercak hitam totol-totol,
yang seminggu yang lalu aku rasa belum sebanyak itu. Aku jadi meresa bersalah,
aku sering sibuk dengan teman-temanku dan mainku, sebenarnya bukan aku malas
mengunjungi atung-utiku, aku hanya bingung, harus apa, mengobati, aku tidak
biasa, menghibur, aku bukan pujangga, apalagi basa basi, salah satu hal yang
paling aku benci di dunia ini.
“love,ayo salim atung sama uti dulu”, tiba-tiba suara
ibuku menghentikan kesibukanku memakan jambu hasil petikanku,
”oke mam”, jawabku sambil bergegas lari kedalam,
”belajar ya le, biar jadi orang sukses, jangan
bolong-bolong sholatnya”, pesan atung padaku,
“iya atung”,
jawabku. Kami dulu-duluan masuk ke mobil, sementara
ibu mengucapkan salam sambil melambaikan tangan.
“ ayo le mancing”, kata atung
padaku dan adiku, dengan gaya khas, topi biru, kaos, celana pendeknya, dan
sandal lili warna coklat. Dengan semangat 45 aku segera mengekor atungku, seperti
penjelajah alam lagaknya, melewati belik, pematang sawah, dan sampailah kami di
sebuah bendungan sungai, orang jawa bilang dam. Aku dan adiku berkejar-kejaran
di sawah, menangkapi ikan-ikan kecil bernama cethol, lumayan,tangkapan kami
banyak sekali. Ibu pasti senang pikirku. “le, jangan jauh-jauh..”, atung memeringati,
aku menengok kearah atungku, wow, sudah ada ikan diember atung,
“sudah dapat ikan atung?”, tanyaku, “iya le, nanti kasih
ibu ya, biar digoreng, buat sambal bawang, nasinya hangat, muantab le..”, “iya
atung, muantab, aku juga dapat banyak, ikan kecil-kecil, nanti juga digoreng
ibu”, atung melihat kearah pelastik yang
kubawa, wajahnya tersenyum sambil menganggukan kepala.
“hem,baunya
enak”, aku melongok ke dalam wajan berisi ikan yang digoreng ibuku,
“nah, sudah matang, ayo kita makan”, serentak
kami menyerbu meja makan, atung bangga dan tersenyum melihat kami semangat
makan, kuambil ikan tangkapanku,
“uff, pahit”,
semua tertawa melihat kearahku, “kok pahit atung?”.
“iya, itu namanya cethol, rasanya agak pahit, makanya
tidak ada yang menangkapnya, tapi untuk sawah mereka memberikan keuntungan,
memakan hama sawah yang ada didalam air”, jelas atung, “o.. begitu”,
gumamku.
Tiba-tiba lamunanku terhenyak, suara tahlil mengiringi
diangkatnya keranda hijau itu, didalam keranda itu, atungku berbaring, ibu, uti
dan bapak menangis, pagi itu, 28 desember, atungku kembali kepangkuan Alloh SWT
dengan meninggalkan banyak pesan, kenangan manis dan harapan, harapan kepada
aku, kakaku dan adiku, air mataku menetes, mengingat bandelnya aku selama ini,
aku menyesal, tapi semuanya sudah terlambat. Kulihat jasad atung mulai ditutupi
tanah,
“maaf atung..”, hanya kata itu yang aku ucapkan, doa-doa
terlantun dari pak ustazd mengiringi penutupan pemakaman, satu persatu orang
pergi meninggalkan pusara, tinggal ibu, bapak, aku, adik dan kakaku. Ku
lihat bapak meraih tangan ibu,
mengajaknya pulang, kami semua terdiam berjalan dibelakangnya.
Didalam rumah kulihat uti masih menangis ditemani sanak
saudara, kupandangi foto atung dikamarnya, senyumnya lebar, seperti senyumku,
air mataku menetes, kubaca tulisan diruang tamu, “sudahkah anda sholat”, baru
aku mengerti makna tulisan yang dibuat atung itu, ya, sholatlah yang nantinya
akan dihisab pertama kali di hari akhir, sholatlah ukuran baik-buruknya seseorang,
sholatlah pagar dari dosa dan maksiyat, atungku,tak ingin kami lalai dalam sholat,
sungguh sejak saat itu, aku berusaha untuk satu hal, tidak akan meninggalkan sholat.Doaku,
semoga atung mendapatkan tempat terbaik disisi Alloh SWT, Amin ya Robbal’alamin.
(untuk atungku)
END