Lazismu kantor layanan Umbulharjo Aksi bersama untuk sesama salurkan Zakat Infaq Sodaqoh anda melalui rekening BNI Syariah 0457274314 a.n Lazismu Kantor Layanan Umbuharjo dan melalui rekening BUKOPIN Syariah 7709002554 a.n A.Rosyid QQ Lazismu KL.UH

Jumat, 10 November 2017

CERPEN : WHY I'M NOT???

CERPEN

WHY I’M NOT???

Oleh : Ahmad Mujahid Khalifatullah
Email : ahmad.pintar13@yahoo.com


    Aku benci menulis!
Han….. Aku akan antarkan kopermu. Jangan banyak pekerjaan, kau tak akan tau untuk apa madame menyuruhmu pulang, kan?”
Aku menggeleng pelan.Cepat-cepat kunaiki tangga melingkar dengan berbagai retorika yang mengiringi. Bersih.Pasti mom selalu menyuruh Strule membersihkannya.Tampak fotoku bersama Dad ketika ber-scooter mengelilingi Amsterdam.Tampak pula fotoku, Alecia, Mom, dan Dad dengan background keraton Yogyakarta di Hindia.  Tampak pula salib yang masih menggantung tenang di dinding kamarku. Dan kulirik arlojiku pelan. 2 am. Mungkin sudah  waktunya untuk qiyamul lail.
JJJ
Kriiiing. Message from professor Richard.
Oam, aku menguap pelan. Ku genggam pena berbentuk tulip yang setelah sholat shubuh sempat ku gunakan untuk menulis artikel lineku. Ah, deadline menguras dimana-mana. Apalagi, pesan dari professor Richard yang membuatku semakin sesak nafas. Artikelku menjadi top comment di Sunday time. Dan yang paling membuatku stroke : nama jurnalisku diancam akan dibuka. Padahal, kode etik jurnalis Netherland telah melarang pembukaan identitas jurnalis. Dan aku tak tau, bagaimana ekspresi mom jika tau aku menulis artikel semomental itu? Bagaimana ekspresi Dave, Alecia, Strule? Atau bahkan mungkin Ratu Noryakan memecatku dari golongan duke.
Tok,... tok......tok......
Ketukan kecil menggugah lamunanku.Cepat-cepat kusembunyikan mushaf di bawah bantalku dan berlari menggapai pintu.
Ketika ku buka pintu, tampak Wajah Strule yang bersahaja menyembul.
“Cepatlah turun, aku telah membuatkan telur spicy kesukaanmu.”
“benarkah?” cepat –cepat aku meraih tangga untuk turun.Wah, telur spicy dengan taburan bubuk kaldu adalah makanan favouriteku dari kecil.
“dan setelah ini, madame ingin bertemu denganmu.”
Mom ingin bertemu denganku?!
“di mana?!”
“seperti biasa.”
Langsung aku berlari menuju lantai tiga tempat grand family berada. Grand family di desain oleh Dad untuk di jadikan ruang pertemuan keluarga, dan jika mom ingin bertemu di sana, berarti ini adalah suatu hal yang sangat penting. Semenjak Dad pergi, mom tak pernah mau menyentuh ruangan itu lagi.
Goden morgen, mum,”
Ku cium pelan pipi mom.Tampak di sampingnya telah berdiri Alecia dengan wajah cerah.
“Kenapa kau tak datang saat pemakaman king Van Hagh?”
Itulah gaya mom, tak pernah mau berbasa-basi.
“maafkan aku, mom. Aku banyak pekerjaan akhir-akhir ini.” Aku tak bohong, deadline memang mengejarku dimana-mana.
“Setidaknya, kau masih mengingat home, berduka cita, mengingat mom. Jangan seperti Dad mu, yang ketika menemukan hal lain langsung pergi meninggalkan kita.”
Mom membuang pandangannya keluar.Tampak tulip di halaman memerah tenang, dengan rayuan angina musim dingin yang memanjakan waktu senggang.
“Nanti malam ada perjamuan di center palace, kau harus ikut.Aku selalu malu ketika duke-duke lain menanyakanmu. Dan pastinya, kau akan bertemu dengan Lira. Kau merindukannya, bukan?”
Ku anggukkan kepalaku pelan. Bayangan Lira dengan mata tajamnya di depan masjid Rotterdam selalui menghantuiku. Ah, semoga bukan dia.
Ku cium pipi mom pelan. Perutku telah berdendang sedari tadi.
“Han, ku dengar kau bekerja di Sunday time? Kau jangan pernah berdekat-dekatan dengan Micheal Han, dia setan-setan teman Dadmu.”
Thorax dan abdomenku semakin kacau. Ah, tulip.

JJJ
Plak!!!!!
Kuhitung, tamparan ini yang kelima kali ini dalam satu menit Nanow ceramah.
“Han, kau tau?? Namamu benar-benar diletakkan di top record terrorist!! Kau bahkan tak pernah berfikir untuk membuat artikel!!!”
“Ini menguntungkan Sunday time kan, sir?”
Grrrh. Mata Nanow berkilat merah dengan cepat, kreeek!!!
Dan sekarang mata ku yang berganti berkilat merah.
“Pen ini kan yang membuatmu menulis tak karuan?! Very crazy, Beary!!! Kau kolot, menulis hanya dengan pen, notebook kecil, dan artikelmu yang membuat dunia internasional porak poranda dan menguber-ubermu...... apa kau mau tak dianggap duke of Netherlander lagi??!”
Mataku semakin menyala.
“kembalikan pen kuuu!!!!” ku rebut dengan kasar dua potong pen yang telah tak berbentuk lagi. Tulip?!
“Kau tak pernah menghargai masa lalu, hei?!Kau tak tau, betapa berharga sejarah bagiku?!Bahwa kau bisa mengejekku, karena aku bukan netherlander?!Karena aku bukan keturunan dukesebenarnya?! Kau tak akan pernah tau, Now, di mana hatiku berada. Aku hanya ingin menyampaikan apa yang aku rasakan saat ini, bahwa aku merindukan sentuhan dunia pureku.”
Aku berjalan gontai meninggalkan Nanow menuju rehat place. Tempat ini mungkin lebih baik untuk menenagkan fikiran.
Ku tatap pen yang telah terbelah dua ini. Teringat kembali saat Dad menjauh dari duniaku…
“Han, namamu bukan Van der Han. Namamu Muhammad Micheal Han. Kita islam, Han. Kau lihat wajah Dad, kan? Wajah Dad berbeda dengan wajah mommu. Dan, kau tak akan pernah ada hubungan darah dengan mom mu kecuali karena aku pernah menikahinya. Jati dirimu sebenarnya adalah menulis,boy. Tulislah sesuatu yang membuatmu bebas, yang membebaskan agamamu di Netherland dengan pen ini. Pen ini adalah pen terakhir mum kandungmu ketika dia di tembak mati CIA karena meliput di Afganistan. Mom mu java, Han dan Dadmu ini juga hindi-Borneo...... Kau harus tau itu.”
Di Adi Sucipto’s airport aku dan Dad berpisah. Aku yang telah 15 tahun tahu ketika Dad meminta izin ke administrasi, aku tau kalau aku akan berpisah dengannya. Sampai air mataku menetes, Alecia terus meledekku mengatakan aku takut menaiki pesawat, padahal masalah jauh lebih kompleks dari sekedar fobia menaiki pesawat. “Dad sudah tak pantas di Nether, Han.Nama jurnalis Dadmu ini telah terbongkar public. Aku belum punya keberanian untuk kembali melawan diktator.”
Kapankah aku bisa bertemu dengannya lagi??? Mengungkapkan, betapa batinku sangat tercercah di negeri kafir ini???

JJJ
Ku tempel pen dengan selotip halus. Ya, aku harus menulisnya, menulis tentang bagaimana kehidupan ruhiyku begitu tercecer di dunia monarki ini, betapa aku sangat terperosok kedalam cekung keniscayaan suatu kerajaan, betapa tersiksanya menjadi seorang duke, dan yang pasti : aku bukan duke. Sampai kapanpun aku bukan duke. Duke hanya menifestasi panggilanku 19 tahun terakhir ini, namun setelah ini, aku harus menyelesaikannya.
“Han, madame ingin bertemu denganmu.”
Aku cepat-cepat keluar menemui Strule yang menungguku di pintu dan berlari menuju grand place. Tampak seorang wanita menemani mom.  Siapa dia? Alecia?
“kau rindu Lira kan, Han?”
Seorang wanita dengan rambut merah tergerai, mendekatiku.
“kau sudah dewasa, Han.” dan ketika Lira berjalan menggamit tanganku, aku berusaha melepas pegangannya. “maaf Lira, aku sedang ada urusan penting. Maafkan aku, mum, aku banyak urusan. Bye,”
Kucium pipi mom pelan, berharap bisa meluruhkan hatinya.
Aku tidak tau, apa yang terjadi setelah aku pergi.
JJJ
    Pukul 8 am. Kugunakan sedikit waktu untuk berkemas, dan merapikan sedikit border foto yang terpampang di buffet. Ah, Dad. Betapa hidup ini lebih polemic dari yang kukira. Kemarin tulisanku benar-benar mencuat di Antara, dan yang pasti intelijen cepat atau lambat pasti akan menemukanku. Aku bukan akan lari dari kenyataan, tapi jalan jihad ini harus terus berlanjut, bukan berhenti saat aku mati.
Ku ambil air wudhu yang sejuk. Udara dingin tak menggangguku merasakan sejuknya air wudhu, Mungkin masih ada sedikit waktu untuk sholat Dhuha, sebelum mom dan Alecia datang setelah berspa demi untuk mengantarkanku ke bandara.Hari ini, pesawatku check out ke Hindia. Aku melangkah pelan, dan menggelar sajadah Beirut hadiah dari brother Abu Bakar di samping meja.
Awal-awal, aku merasakan ketenangan yang luar biasa. Tapi,ketika memasuki roka’at kedua, terdengar suara pintu kamarku terbuka. Ya Allah, semoga Alecia, bukan mom.
Tapi, BRAK!!! (Yang ku rasa, sholatku sudah tak khusyu)
“Han....., madame memanggilmu.”
Aku mengangguk pelan.Mungkin, inilah waktunya kartuku terbuka, dear.
Kulihat raut mom yang sudah masam ketika memasuki grand place. Alecia tak ada. Ah, mum
“sejak kapan kau ikut agama setan itu, Han?!!! Jadi benar kata Lira, dia sering melihatmu di masjid Rotterdam.”
“sejak aku tau, bahwa Dad islam, dan aku bukan seorang duke.” Jawabku tegas.
“kau anakku, Han. Kau yang bisa membahagiakanku setelah Dadmu pergi, hanya kau menenangkan hati mom. Dan kau selamanya adalah duke, duke of Netherlander!!!.Sampai kapanpun.”
“Aku bukan duke mum, aku bukan anak mum. Aku bukan seorang Netherlander, dan aku adalah Micheal Han.” Ku pejamkan mataku sambil terus beristighfar.
“Kkau…” mata mum semakin memerah, “ kau MICHEAL HAN?!!!”
“Aku tak berharap kau menjadi jurnalis seperti Dadmu, menulis artikel kontroversional yang membuatnya di uber-uber intelijen.Kau tau itu, Han ku?! Buat apa Amerika mengirim beribu-ribu armada mereka untuk membasmi para teroris itu, hah?! Kau tau itu kan, Han?!”
“Mereka bukan teroris,mum. Orang-orang selalu salah pandang mengenai islam. Mum pun juga harus tau itu.”
“kurang apa mum padamu, Han?” suara mom makin melemah, membuat hatiku semakin jauh.
“tidak kurang apapun, mum. Tapi ini jalan yang aku tempuh, aku tak akan menukarnya demi apapun.” Jawabku sambil tegak menantang wajah mum. Faghfirlii, Robbii
“demi apapun, Han???”
“yeah, demi apapun.”
Tampak mum berusa menarik nafas dalam-dalam. Dan…
“sekarang, kau tak boleh kembali lagi kesini sebelum kau menyadari kekeliruanmu!!” tegas, dan tanpa tending aling-aling. Mata mom keluar tanpa menatap kepergianku.
Aku keluar, dan tampak Strule yang berusaha menghapus air mata. “aku tak apa-apa, Strule. Di mana Dave?”
yes, sir.”
Ku ikuti langkah Dave yang meninggalkan halaman palace. Kulihat jendela grand palace, berharap mum akan mengintipku dari atas sana. Semoga Allah memberi kesempatan untuk memberi hidayah pada orang yang kusayang.
“Kau akan ke mana, Han?”Alecia menghadangku dengan mata sembab. Aku tak tau, yang jelas, di manapun aku berada, di situlah bumi Allah, di situlah jalan da’wahku.
Amsterdam airport, Dave.”
yes, sir.”
Jika raja Ferdinand saja rela melepas takhtanya demi seorang wanita, kenapa aku tidak berani melepas gelar kebangsawananku demi Sebuah cinta yang Maha Tinggi???


J THE END J

0 komentar:

Posting Komentar