CERPEN
WHY I’M NOT???
Oleh : Ahmad Mujahid Khalifatullah
Email : ahmad.pintar13@yahoo.com
Aku benci menulis!
Han….. Aku akan antarkan kopermu. Jangan
banyak pekerjaan, kau tak akan tau untuk apa madame menyuruhmu pulang, kan?”
Aku
menggeleng pelan.Cepat-cepat kunaiki tangga melingkar dengan berbagai retorika
yang mengiringi. Bersih.Pasti
mom selalu menyuruh Strule membersihkannya.Tampak fotoku bersama Dad ketika
ber-scooter mengelilingi Amsterdam.Tampak pula fotoku, Alecia, Mom, dan Dad
dengan background keraton Yogyakarta di Hindia.
Tampak pula salib yang masih menggantung tenang di dinding kamarku. Dan kulirik
arlojiku pelan. 2 am. Mungkin sudah waktunya untuk qiyamul lail.
JJJ
Kriiiing.
Message from professor Richard.
Oam,
aku menguap pelan. Ku genggam pena berbentuk tulip yang setelah sholat shubuh
sempat ku gunakan untuk menulis artikel lineku. Ah, deadline menguras
dimana-mana. Apalagi, pesan dari professor Richard yang membuatku semakin sesak
nafas. Artikelku
menjadi top comment di Sunday time. Dan yang paling membuatku
stroke : nama jurnalisku diancam akan dibuka. Padahal, kode etik jurnalis
Netherland telah melarang pembukaan identitas jurnalis. Dan aku tak tau,
bagaimana ekspresi mom jika tau aku menulis artikel semomental itu? Bagaimana
ekspresi Dave, Alecia, Strule? Atau bahkan mungkin Ratu Noryakan memecatku dari
golongan duke.
Tok,... tok......tok......
Ketukan
kecil menggugah lamunanku.Cepat-cepat kusembunyikan mushaf di bawah bantalku
dan berlari menggapai pintu.
Ketika
ku buka pintu, tampak Wajah Strule yang bersahaja menyembul.
“Cepatlah
turun, aku telah membuatkan telur spicy
kesukaanmu.”
“benarkah?”
cepat –cepat aku meraih tangga untuk turun.Wah, telur spicy dengan taburan bubuk kaldu adalah makanan favouriteku dari kecil.
“dan
setelah ini, madame ingin bertemu denganmu.”
Mom
ingin bertemu denganku?!
“di
mana?!”
“seperti
biasa.”
Langsung
aku berlari menuju lantai tiga tempat grand family berada. Grand family di
desain oleh Dad untuk di jadikan ruang pertemuan keluarga, dan jika mom ingin
bertemu di sana, berarti ini adalah suatu hal yang sangat penting. Semenjak Dad
pergi, mom tak pernah mau menyentuh ruangan itu lagi.
“ Goden morgen, mum,”
Ku
cium pelan pipi mom.Tampak di sampingnya telah berdiri Alecia dengan wajah
cerah.
“Kenapa
kau tak datang saat pemakaman king Van
Hagh?”
Itulah
gaya mom, tak pernah mau berbasa-basi.
“maafkan
aku, mom. Aku banyak pekerjaan akhir-akhir ini.” Aku tak bohong, deadline
memang mengejarku dimana-mana.
“Setidaknya,
kau masih mengingat home, berduka cita, mengingat mom. Jangan seperti Dad mu,
yang ketika menemukan hal lain langsung pergi meninggalkan kita.”
Mom
membuang pandangannya keluar.Tampak tulip di halaman memerah tenang, dengan
rayuan angina musim dingin yang memanjakan waktu senggang.
“Nanti
malam ada perjamuan di center palace, kau harus ikut.Aku selalu malu ketika duke-duke lain menanyakanmu. Dan
pastinya, kau akan bertemu dengan Lira. Kau merindukannya, bukan?”
Ku
anggukkan kepalaku pelan. Bayangan Lira dengan mata tajamnya di depan masjid
Rotterdam selalui menghantuiku. Ah, semoga bukan dia.
Ku
cium pipi mom pelan. Perutku telah
berdendang sedari tadi.
“Han,
ku dengar kau bekerja di Sunday time? Kau
jangan pernah berdekat-dekatan dengan Micheal Han, dia setan-setan teman Dadmu.”
Thorax
dan abdomenku semakin kacau. Ah, tulip.
JJJ
Plak!!!!!
Kuhitung,
tamparan ini yang kelima kali ini dalam satu menit Nanow ceramah.
“Han,
kau tau?? Namamu benar-benar diletakkan di top
record terrorist!! Kau bahkan tak pernah berfikir untuk membuat artikel!!!”
“Ini
menguntungkan Sunday time kan, sir?”
Grrrh.
Mata Nanow berkilat merah dengan cepat,
kreeek!!!
Dan
sekarang mata ku yang berganti berkilat merah.
“Pen
ini kan yang membuatmu menulis tak karuan?! Very
crazy, Beary!!! Kau kolot, menulis hanya dengan pen, notebook kecil, dan artikelmu yang membuat dunia internasional
porak poranda dan menguber-ubermu...... apa
kau mau tak dianggap duke of Netherlander
lagi??!”
Mataku
semakin menyala.
“kembalikan
pen kuuu!!!!” ku rebut dengan kasar dua potong pen yang telah tak berbentuk
lagi. Tulip?!
“Kau
tak pernah menghargai masa lalu, hei?!Kau tak tau, betapa berharga sejarah
bagiku?!Bahwa kau bisa mengejekku, karena aku bukan netherlander?!Karena aku bukan keturunan dukesebenarnya?!
Kau tak akan pernah tau, Now, di mana hatiku berada. Aku hanya ingin
menyampaikan apa yang aku rasakan saat ini, bahwa aku merindukan
sentuhan dunia pureku.”
Aku
berjalan gontai meninggalkan Nanow menuju rehat place. Tempat ini mungkin lebih
baik untuk menenagkan fikiran.
Ku
tatap pen yang telah terbelah dua ini. Teringat kembali saat Dad menjauh dari
duniaku…
“Han,
namamu bukan Van der Han. Namamu Muhammad Micheal Han. Kita islam, Han. Kau
lihat wajah Dad, kan? Wajah Dad berbeda dengan wajah mommu. Dan, kau tak akan pernah ada hubungan darah dengan mom mu
kecuali karena aku pernah menikahinya. Jati dirimu sebenarnya adalah menulis,boy. Tulislah sesuatu yang membuatmu
bebas, yang membebaskan agamamu di Netherland dengan pen ini. Pen ini adalah
pen terakhir mum kandungmu ketika dia
di tembak mati CIA karena meliput di Afganistan. Mom mu java, Han dan
Dadmu ini juga hindi-Borneo...... Kau harus tau
itu.”
Di
Adi Sucipto’s airport aku dan Dad berpisah. Aku yang telah 15 tahun tahu ketika
Dad meminta izin ke administrasi, aku tau kalau aku akan berpisah dengannya.
Sampai air mataku menetes, Alecia terus meledekku mengatakan aku takut menaiki
pesawat, padahal masalah jauh lebih kompleks dari sekedar fobia menaiki
pesawat. “Dad sudah tak
pantas di Nether, Han.Nama jurnalis Dadmu ini telah terbongkar public. Aku
belum punya keberanian untuk kembali melawan diktator.”
Kapankah
aku bisa bertemu dengannya lagi??? Mengungkapkan,
betapa batinku sangat tercercah di negeri kafir ini???
JJJ
Ku
tempel pen dengan selotip halus. Ya, aku harus menulisnya, menulis tentang
bagaimana kehidupan ruhiyku begitu tercecer di dunia monarki ini, betapa aku
sangat terperosok kedalam cekung keniscayaan suatu kerajaan, betapa tersiksanya
menjadi seorang duke, dan yang pasti
: aku bukan duke. Sampai kapanpun aku
bukan duke. Duke hanya
menifestasi panggilanku 19 tahun terakhir ini, namun setelah ini, aku harus
menyelesaikannya.
“Han,
madame ingin bertemu denganmu.”
Aku
cepat-cepat keluar menemui Strule yang menungguku di pintu dan
berlari menuju grand place. Tampak
seorang wanita menemani mom. Siapa dia? Alecia?
“kau
rindu Lira kan, Han?”
Seorang
wanita dengan rambut merah tergerai, mendekatiku.
“kau
sudah dewasa, Han.” dan ketika Lira
berjalan menggamit tanganku, aku berusaha melepas pegangannya. “maaf Lira, aku
sedang ada urusan penting. Maafkan aku, mum,
aku banyak urusan. Bye,”
Kucium
pipi mom pelan, berharap bisa meluruhkan hatinya.
Aku
tidak tau, apa yang terjadi setelah aku pergi.
JJJ
Pukul 8 am. Kugunakan sedikit waktu untuk
berkemas, dan merapikan sedikit border foto yang terpampang di buffet. Ah, Dad.
Betapa hidup ini lebih polemic dari yang kukira. Kemarin tulisanku benar-benar
mencuat di Antara, dan yang pasti intelijen
cepat atau lambat pasti akan menemukanku. Aku bukan akan lari dari kenyataan,
tapi jalan jihad ini harus terus berlanjut, bukan berhenti saat aku mati.
Ku
ambil air wudhu yang sejuk. Udara dingin tak menggangguku merasakan sejuknya air wudhu, Mungkin masih
ada sedikit waktu untuk sholat Dhuha, sebelum mom dan Alecia datang setelah berspa
demi untuk mengantarkanku ke bandara.Hari ini, pesawatku check out ke Hindia. Aku
melangkah pelan, dan menggelar sajadah Beirut hadiah dari brother Abu Bakar di
samping meja.
Awal-awal,
aku merasakan ketenangan yang luar biasa. Tapi,ketika memasuki roka’at kedua,
terdengar suara pintu kamarku terbuka. Ya Allah, semoga Alecia, bukan mom.
Tapi,
BRAK!!! (Yang
ku rasa, sholatku sudah tak khusyu)
“Han....., madame memanggilmu.”
Aku mengangguk pelan.Mungkin, inilah waktunya kartuku terbuka, dear.
Kulihat raut mom yang sudah masam ketika memasuki grand place. Alecia tak ada.
Ah, mum…
“sejak
kapan kau ikut agama setan itu, Han?!!! Jadi benar kata Lira, dia sering
melihatmu di masjid Rotterdam.”
“sejak
aku tau, bahwa Dad islam, dan aku bukan seorang duke.” Jawabku tegas.
“kau
anakku, Han. Kau yang bisa membahagiakanku setelah
Dadmu pergi, hanya kau menenangkan hati mom. Dan kau selamanya adalah duke, duke of Netherlander!!!.Sampai
kapanpun.”
“Aku
bukan duke mum, aku bukan anak mum. Aku bukan seorang Netherlander, dan
aku adalah Micheal Han.” Ku pejamkan mataku sambil terus beristighfar.
“Kkau…”
mata mum semakin memerah, “ kau MICHEAL HAN?!!!”
“Aku
tak berharap kau menjadi jurnalis seperti Dadmu, menulis artikel
kontroversional yang membuatnya di uber-uber intelijen.Kau tau itu, Han ku?!
Buat apa Amerika
mengirim beribu-ribu armada mereka untuk membasmi para teroris itu, hah?! Kau
tau itu kan, Han?!”
“Mereka
bukan teroris,mum. Orang-orang selalu
salah pandang mengenai islam. Mum pun
juga harus tau itu.”
“kurang
apa mum padamu, Han?” suara mom makin
melemah, membuat hatiku semakin jauh.
“tidak
kurang apapun, mum. Tapi ini jalan
yang aku tempuh, aku tak akan menukarnya demi apapun.” Jawabku sambil tegak
menantang wajah mum. Faghfirlii, Robbii…
“demi
apapun, Han???”
“yeah,
demi apapun.”
Tampak
mum berusa menarik nafas dalam-dalam.
Dan…
“sekarang,
kau tak boleh kembali lagi kesini sebelum kau menyadari kekeliruanmu!!” tegas,
dan tanpa tending aling-aling. Mata mom keluar tanpa menatap kepergianku.
Aku keluar,
dan tampak Strule yang berusaha menghapus air mata. “aku tak apa-apa, Strule.
Di mana Dave?”
“yes, sir.”
Ku
ikuti langkah Dave yang meninggalkan halaman palace. Kulihat jendela grand palace,
berharap mum akan mengintipku dari
atas sana. Semoga Allah memberi kesempatan untuk memberi hidayah pada orang
yang kusayang.
“Kau
akan ke mana, Han?”Alecia menghadangku dengan mata sembab. Aku
tak tau, yang jelas, di manapun aku berada, di situlah bumi Allah, di situlah
jalan da’wahku.
“Amsterdam airport, Dave.”
“yes, sir.”
Jika
raja Ferdinand saja rela melepas takhtanya demi seorang wanita, kenapa aku
tidak berani melepas gelar kebangsawananku demi Sebuah cinta yang Maha
Tinggi???
J THE END J
0 komentar:
Posting Komentar