BEGINIKAH CARA-MU MENDEWASAKANKU?
Oleh : Pawitri Mulyaningsih
Email : pawitrim@yahoo.com
“Kematian
itu mungkin duka bagi yang ditinggalkan,tapi sejatinya itu adalah jembatan menuju kebahagiaan yang hakiki. Aku pun
tahu, ia ikut menangis denganku. Tapi kini aku lega, tenang karena
aku tahu ia sudah bersamaMu dalam dekapan hangat dan kasih”
**************************************************************
“Ayah
percaya, Wiji bisa menjadi
orang sukses yang kelak bisa bermanfaat untuk orang lain”. Pesan terakhir
yang Ayah katakan kala itu. Semenjak menikah dengan ayahku, ibuku tak bekerja.
Dan saat ini cobaan yang berat ketika ibuku harus memiliki peran yang lebih
dari sebelumnya.
“Terimakasih
kawan, entah apa aku sanggup melalui proses ini tanpa kalian”
Entahlah, tak
pernah terbesit dalam pikiran ibuku untuk menikah lagi. Padahal seorang Ayah
dapat membantu kehidupan kami, pikirku kala itu. Ketakutan
terbesarku saat ini adalah usainya semua ini. Tentang mimpiku untuk kuliah yang
mungkin akan berakhir sampai di sini. Mimpiku untuk menjadi seorang psikolog,
pupuslah sudah.
“Nduk,
sebisa mungkin ibu akan membiayai sekolahmu. Kau harus tamat S1. Seperti yang
dicita-citakan Ayahmu. Bulan depan kau juga harus ikut lomba senam lantai
tingkat nasional, jadi kau tidak usah berpikir yang aneh-aneh.Pasti ada jalan rizki untuk kita”
“Tapi Bu...”
“Sss.....ssstttt.
Ayah dan Ibu sudah berjanji akan menyekolahkanmu sampai lulus sarjana. Kamu harus menjadi
orang yang bisa bermanfaat untuk orang lain” ibu membelai jilbab marun yang aku
kenakan. Terbukti, tak sampai di sini kehidupan kami. Ibuku
menghidupi kami dengan berjualan kue, menjahit, dan menjadi buruh cuci di
tempat laundy. Merasakan betapa
kerasnya usaha ibu membuatku semakin bertekat dan yakin untuk mewujudkan
cita-citaku, memenuhi keinginan ayah untuk bisa menjadi atlet sepenuhnya dan lulus sarjana kemudian jadi seorang psikolog
yang bermanfaat. Aku juga ingin melihat ibu menampakkan senyum terindahnya
karenaku.
“Semangat
Wiji!” Hibur Una temanku. Una benar, aku harus semangat.
“Aku adalah gadis
yang ingin membangun peradaban. Jadi nggak boleh loyo” gumamku.
“Kamu harus kuat
dalam badai sekencang apapun. Ingat Wij, kamu juga nggak sendiri di
sini”
“Aku tak ingin
mengecewakan Ayah Un. Betapa beliau
ingin anaknya ini menjadi atlet. Apalagi
bulan depan aku ikut lomba senam lantai tingkat nasional yang telah aku impikan
sejak kecil. Besar harapan Ayah untuk menyaksikan aku mengikuti lomba itu,
apalagi membawa medali dari sana”
“Lalu apa yang
akan kau lakukan?”
Seketika
bulir-bulir air mata mengalir dari pelupuk mataku.
“Aku lelah dengan
semua ini Un. Aku bingung. Aku tak ingin lagi seperti ini. Aku...aku............”
“Aku mengerti Wij!” Una memelukku begitu erat. Aku dapat merasakan betapa ia menyayangiku.
******************************************************************
“Jadi gimana Wij, minggu ini
sudah bisa mulai latihan? Kau tenang saja, masalah kuliahmu nanti aku pasti
bisa membantumu. Jadi atlet atau
psikolog, nanti aku akan membantumu mencari sekolah dan biayanya”
Selalu begitu
hiburnya. Pak Anto adalah pelatih senam artistikku sejak SD. Beliau sudah
mengerti tentang keluargaku. Bahkan cita-citaku yang ingin menjadi psikolog terhalang oleh
biaya.
“Semua
ini menyulitkanku Un. Aku semakin bingung memposisikan diriku, Aku harus
bagaimana ? Aku hanya ingin taat kepada perintahNya. Aku tak ingin lagi
menampakkan lekuk tubuhku di depan semua orang dengan ikut lomba senam artistik
itu.. Aku ingin menjadi muslimah sepenuhnya”
“Wiji.......”
“Kenapa Allah
sendiri yang menyulitkanku Un? Dia menciptakan makhluknya
ini dengan kelebihan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang wanita
muslim?”
“Nanti malam kamu
sholat istiqarah, minta diberikan pilihan yang terbaik. Besuk aku antar kamu
menemui Pak Anto”
“Ketakutan terbesarku
saat ini hanya satu Un . Aku takut Ayah kecewa. Aku takut tidak bisa
mewujudkan mimpi Ayah yang selalu beliau sebut dalam do’anya”
“Menjadi orang
yang bermanfaat untuk orang lain dan mengharumkan nama keluarga nggak harus jadi atlet
kan Wij. Dia tahu apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan”
“Bismillah..
Do’akan aku Un”
Mencari
kesempatan walau berbekal impian, berlomba dengan waktu yang berjalan.
“Selamat pagi
Pak” sapaku
“Wiji, masuklah! Jadi
kapan kau siap latihan? Akhirnya
cita-cita yang telah kau impikan sudah di depan mata”
“Maaf Pak,
bukannya saya tidak memanfaatkan kesempatan 99 % yang Bapak tawarkan, namun selagi
jalan mimpi masih terbuka 0,1 % untuk saya, maka saya memilih untuk mengejar
mimpi saya”
“Kenapa? Kamu
yakin dengan keputusanmu? Apa ini karena kamu ingin mempertahankan jilbabmu
seperti waktu itu? Kan hanya terhitung berapa menit saja kau tidak mengenakan
jilbab. Ingat Wij, ini lomba tingkat Nasional. Pikirkan lagi dan jangan sampai
kamu menyesal”
Tiba
ketika perasaanku dihancurleburkan oleh proses ini. Mengalami perasaan ingin
jatuh, mual, capek, sendirian, putus asa, marah,dan bosan. Bahkan ingin
berpikir ulang mengenai mimpi ini. Mimpi untuk meninggalkan duniaku yang sudah
aku rintis sejak di bangku sekolah dasar. Mungkin tidak masuk akal. Seorang
anak yang sudah memiliki prestasi dalam dunia olahraga, rela meninggalkan
mimpinya demi balutan jilbab dikepalanya. Walau masih ada segores mimpi untuk
menjadi seorang psikolog nantinya. Dan aku masih takut tidak bisa membahagiakan
ayah untuk menjadi atlet yang mengharumkan nama kelurga bahkan bangsa.
Mulailah
aku berpikir bahwa aku gila jika meneruskan ide ini. Sebuah keputusan untuk meninggalkan prestasi yang
telah kuukir bertahun-tahun demi cintaku padaNya.
”Kamu menyesal Wij?”
“Tak ada gunanya
menyesali masa lalu. Aku hanya ingin menatap masa depanku yang harus kuwarnai
dengan kebaikan. Mungkin aku bahagia Un, apalagi ikut
lomba senam artistic tingkat nasional
memang mimpiku sejak dulu. Tapi itu hanya kebahagiaan duniawi saja kan Un ?”
Terbukti aku
memang gila . Mulai dari mengebut surat pengunduran diri, meyakinkan pembimbing,
melihat brosur tentang beberapa lomba yang bisa aku ikuti setelah aku keluar
dari dunia kelamku.
“Lomba menulis Wij. Kamu harus
ikut!
“Sejak kapan aku
suka nulis. Kamu ini aneh-aneh saja”
”Kalau begitu
lomba da’i Wij . Kamu cocok tuh. Kamu kan juga pinter dongeng ”
“Aku belum pernah
ikut lomba da’i. Aku tak yakin.”
“Makannya dicoba.
Biar kedepannya yakin”
“Hmmm.. Baiklah,
akan aku buktikan pada Ayah, aku mampu menjadi yang lebih baik walau bukan
menjadi atlet”
“Intine sembodo Un. Buktikan kalau
pilihanmu itu tepat. Orang tua butuh bukti pasti, bukan janji”
Aku
terdiam menanti. Beralaskan sebuah keyakinan, aku berada dalam bingkai impian.
Perlahan tapi pastiaku melangkah membawa sebongkah kebekuan yang hendak
kupecah. Aku meniti medan dengan berbalut sebuah asa. Aku dan impianku
sederhana, karena aku tahu segala impianku akan terwujud di tanah yang kupijak.
“ Bismillah... Bu, Una mau mengikuti
lomba Da’i Pelajar mohon do’anya nggih, agar lombanya barokah, dan diberikan
yang terbaik menurutNya.”
“Ibu selalu
mendo’akanmu Nduk. Kamu tahu mana yang baik untukmu.Ibu selalu mendukungmu”
“Ibu....”
Suasana haru
menyelimuti suasana pagi itu.
“Ayahmu sangat
ingin kamu menjadi atlet nasional Nduk. Dia bangga ketika anaknya kelak bisa
mengharumkan nama negerinya.” Ibu mendekap album photo bersampul biru dengan
berurai air mata.
“Ibu.... Wiji minta maaf”
“Nduk, kenapa
harus minta maaf? Kalau begitu pilihanmu, kamu harus yakin. Do’a Ibu selalu
untukmu Nak”
“Ayah tak akan
marah kan Bu?”
“Ayah ridho,
ketika anaknya selalu dalam bingkai kebaikan. Insya Allah..”
Ibu memelukku
selaksa ia tak ingin kehilangan orang yang ia cintai setelah ia kehilangan
Ayah.Waktupun
terus berlari tanpa kompromi, tibalah waktunya untukku berlomba. Kupandangi photo almarhum ayahku. Tak
kuasa aku menahan air mata ini.
“Ayah, maafkan Wiji. Wiji sayang Ayah dan
tak ingin kehilangan cinta Ayah”
Aku hanya bisa
tawakal setelah segala usaha dan do’a kulakukan dengan sepenuhnya. Dialah
sebaik-baiknya penolong. Dan aku percaya Allah akan memuliakan hambaNya yang
selalu berada dalam kebaikan.
“Kalau kerja itu
totalitas Wij! Apapun hasilnya nanti, usahanya nggak boleh
setengah-setengah” Aku selalu ingat kata Ayahku. Beliau seorang Ayah yang
selalu totalitas dalam apapun.
Tiba
ketika diumumkannya pemenang lomba. Ada namaku yang disebut oleh panitia.
“Juara pertama
diraih oleh Wiji Widayati”
Suaranya begitu
menggelegar. Aku hampir tak percaya, pidato yang aku bawakan tadi mampu
mengambil hati dewan juri.Dan terbukanya jalan untuk aku bisa lomba tingkat
Propinsi.Aku percaya ini membuka segala pintu karirku yang lain Ada kehangatan
yang menjalar di tubuhku. Rasa lemas, haru, dan kini semangatku terpompa lagi.
“Terimakasih
telah menjadi bagian dari kekuatan itu Bu. Ayah, aku percaya Ayah bahagia
melihatku separti ini. Aku akan berusaha menembus tingkat Propinsi saat lomba
nanti”
“Selamat Wij. Aku
percaya kamu bisa”
“Una, makasih untuk
semuanya ya...”
“ Sebulan lagi hari kelulusan. Jadi mau kuliyah
dimana?”
“Entahlah.. Tak
mungkin di psikologi dengan mengharap bantuan dari Pak Anto ”
“Lalu....”
“Masih menunggu
kejelasan ibuku. Aku tak mungkin memaksakan ibuku untuk sanggup membiayaiku
kuliyah demi ambisiku ”
Setelah kelulusan
itu, aku semakin tak yakin. Apa semua akan selesai di sini? Aku ingin tak hanya
sampai disini. Bahkan,untuk menanyakan kejelasan masa depanku pada ibu saja aku
tak berani.
“Masih ingin di
Psikologi Nduk?”
Andai orang yang
bertanya padaku adalah seorang dermawan yang dengan ketulusan hatinya
membiayaiku kuliyah, pasti aku akan mengiyakannya.
“Yang penting kan
ilmunya,mau dimanapun Insya Allah baik kan Bu”
“Lalu jadi mau
ambil apa Nduk?”
“Bismillah...
Pendidikan Agama Islam Bu” jawabku tegas. Kupikir dengan begitu, aku akan mudah
mengaktualisasikan diri. Selain mempertimbangkan ekonomi keluargaku, aku tak
ingin setengah-setengah ketika dulu aku melepaskan duniaku yang kelam demi
sebuah kebaikan.
“Baiklah Nduk,
Insya Allah tabungan ibu cukup. Sekarang kamu mempersiapkan diri untuk tesnya.
Tiga bulan ini kau manfaatkan dengan baik”
“Insya Allah Bu”
Esok
harinya ketika perpisahan,kupandangi halaman kampus SMAku, dan tampak begitu
indah. Kusempatkan menyisiri halaman depan aula, sembari
menikmati udara yang berhembus pelan.
Kini hidupku menjadi kian indah karena aku mengenal kalian
saudara-saudariku. Terimakasih sudah menjadi bagian dari hidupku, menjadi
pembelajaran dari proses pendewasaanku. Terima kasih kawan! Dan ingatlah walau
kita harus berpisah nanti, kalian tak akan pernah hilang dari ingatannku,
bahkan dari hatiku karena kalian adalah kado terindah yang Allah berikan
untukku. “Ayah,Ibu.. Wiji sayang kalian. Wiji percaya selama Wiji
berada dalam bingkai kebaikan, kalian akan bangga dan bahagia” bulir-bulir air
mata mengalir dari pelupuk mataku. Semua kini telah berlalu. Tiada yang ingin
kuulang, tiada yang ingin kuubah. Yang ada aku hanya ingin lebih tegar
menjalani semua ini, karena aku percaya bahwa setiap prosesnya adalah indah.
-------------------------oOo------------------------------