Lazismu kantor layanan Umbulharjo Aksi bersama untuk sesama salurkan Zakat Infaq Sodaqoh anda melalui rekening BNI Syariah 0457274314 a.n Lazismu Kantor Layanan Umbuharjo dan melalui rekening BUKOPIN Syariah 7709002554 a.n A.Rosyid QQ Lazismu KL.UH

Senin, 03 April 2017

Cerpen : BEGINIKAH CARA-MU MENDEWASAKANKU?

Selamat pagi umat Nabi Muhammad SAW..☺☺

Pagi-pagi gini enaknya ngapain yaa?

Ah aku tau baca cerpen dari Lazismu Umbulharjo pasti seru.



Yukyuk temen-temen bacaaa ↓


BEGINIKAH CARA-MU MENDEWASAKANKU?

Oleh : Pawitri Mulyaningsih
Email : pawitrim@yahoo.com
“Kematian itu mungkin duka bagi yang ditinggalkan,tapi sejatinya itu adalah jembatan   menuju kebahagiaan yang hakiki. Aku pun tahu, ia ikut menangis denganku. Tapi kini aku lega, tenang karena aku tahu ia sudah bersamaMu dalam dekapan hangat dan kasih”
**************************************************************
“Ayah percaya, Wiji  bisa menjadi orang sukses yang kelak bisa bermanfaat untuk orang lain”. Pesan terakhir yang Ayah katakan kala itu. Semenjak menikah dengan ayahku, ibuku tak bekerja. Dan saat ini cobaan yang berat ketika ibuku harus memiliki peran yang lebih dari sebelumnya.
      “Terimakasih kawan, entah apa aku sanggup melalui proses ini tanpa kalian”
Entahlah, tak pernah terbesit dalam pikiran ibuku untuk menikah lagi. Padahal seorang Ayah dapat membantu kehidupan kami, pikirku kala itu. Ketakutan terbesarku saat ini adalah usainya semua ini. Tentang mimpiku untuk kuliah yang mungkin akan berakhir sampai di sini. Mimpiku untuk menjadi seorang psikolog, pupuslah sudah.
“Nduk, sebisa mungkin ibu akan membiayai sekolahmu. Kau harus tamat S1. Seperti yang dicita-citakan Ayahmu. Bulan depan kau juga harus ikut lomba senam lantai tingkat nasional, jadi kau tidak usah berpikir yang aneh-aneh.Pasti ada jalan rizki untuk kita”
“Tapi Bu...”
“Sss.....ssstttt. Ayah dan Ibu sudah berjanji akan menyekolahkanmu sampai lulus sarjana. Kamu harus menjadi orang yang bisa bermanfaat untuk orang lain” ibu membelai jilbab marun yang aku kenakan. Terbukti, tak sampai di sini kehidupan kami. Ibuku menghidupi kami dengan berjualan kue, menjahit, dan menjadi buruh cuci di tempat laundy. Merasakan betapa kerasnya usaha ibu membuatku semakin bertekat dan yakin untuk mewujudkan cita-citaku, memenuhi keinginan ayah untuk bisa menjadi atlet sepenuhnya dan lulus sarjana kemudian jadi seorang psikolog yang bermanfaat. Aku juga ingin melihat ibu menampakkan senyum terindahnya karenaku.
“Semangat Wiji!” Hibur Una temanku. Una benar, aku harus semangat.
“Aku adalah gadis yang ingin membangun peradaban. Jadi nggak boleh loyo” gumamku.
“Kamu harus kuat dalam badai sekencang apapun. Ingat Wij, kamu juga nggak sendiri di sini”
“Aku tak ingin mengecewakan Ayah  Un. Betapa beliau ingin anaknya ini menjadi atlet. Apalagi bulan depan aku ikut lomba senam lantai tingkat nasional yang telah aku impikan sejak kecil. Besar harapan Ayah untuk menyaksikan aku mengikuti lomba itu, apalagi membawa medali dari sana”
“Lalu apa yang akan kau lakukan?”
Seketika bulir-bulir air mata mengalir dari pelupuk mataku.
“Aku lelah dengan semua ini Un. Aku bingung. Aku tak ingin lagi seperti ini. Aku...aku............
“Aku mengerti Wij!  Una memelukku begitu erat. Aku dapat merasakan betapa ia menyayangiku.

******************************************************************
 “Jadi gimana Wij, minggu ini sudah bisa mulai latihan? Kau tenang saja, masalah kuliahmu nanti aku pasti bisa membantumu. Jadi atlet atau psikolog, nanti aku akan membantumu mencari sekolah dan biayanya”
Selalu begitu hiburnya. Pak Anto adalah pelatih senam artistikku sejak SD. Beliau sudah mengerti tentang keluargaku. Bahkan cita-citaku yang ingin  menjadi psikolog terhalang oleh biaya.
“Semua ini menyulitkanku Un. Aku semakin bingung memposisikan diriku, Aku harus bagaimana ? Aku hanya ingin taat kepada perintahNya. Aku tak ingin lagi menampakkan lekuk tubuhku di depan semua orang dengan ikut lomba senam artistik itu.. Aku ingin menjadi muslimah sepenuhnya”
Wiji.......”
“Kenapa Allah sendiri yang menyulitkanku Un? Dia menciptakan makhluknya ini dengan kelebihan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang wanita muslim?”
“Nanti malam kamu sholat istiqarah, minta diberikan pilihan yang terbaik. Besuk aku antar kamu menemui Pak Anto”
“Ketakutan terbesarku saat ini hanya satu Un . Aku takut Ayah kecewa. Aku takut tidak bisa mewujudkan mimpi Ayah yang selalu beliau sebut dalam do’anya”
“Menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain dan mengharumkan nama keluarga nggak  harus jadi atlet kan Wij. Dia tahu apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan”
“Bismillah.. Do’akan aku Un
Mencari kesempatan walau berbekal impian, berlomba dengan waktu yang berjalan.
“Selamat pagi Pak” sapaku
Wiji, masuklah! Jadi kapan kau siap latihan?  Akhirnya cita-cita yang telah kau impikan sudah di depan mata”
“Maaf Pak, bukannya saya tidak memanfaatkan kesempatan 99 % yang Bapak tawarkan, namun selagi jalan mimpi masih terbuka 0,1 % untuk saya, maka saya memilih untuk mengejar mimpi saya”
“Kenapa? Kamu yakin dengan keputusanmu? Apa ini karena kamu ingin mempertahankan jilbabmu seperti waktu itu? Kan hanya terhitung berapa menit saja kau tidak mengenakan jilbab. Ingat Wij, ini lomba tingkat Nasional. Pikirkan lagi dan jangan sampai kamu menyesal”
Tiba ketika perasaanku dihancurleburkan oleh proses ini. Mengalami perasaan ingin jatuh, mual, capek, sendirian, putus asa, marah,dan bosan. Bahkan ingin berpikir ulang mengenai mimpi ini. Mimpi untuk meninggalkan duniaku yang sudah aku rintis sejak di bangku sekolah dasar. Mungkin tidak masuk akal. Seorang anak yang sudah memiliki prestasi dalam dunia olahraga, rela meninggalkan mimpinya demi balutan jilbab dikepalanya. Walau masih ada segores mimpi untuk menjadi seorang psikolog nantinya. Dan aku masih takut tidak bisa membahagiakan ayah untuk menjadi atlet yang mengharumkan nama kelurga bahkan bangsa.
Mulailah aku berpikir bahwa aku gila jika meneruskan ide ini. Sebuah keputusan untuk  meninggalkan prestasi yang telah kuukir bertahun-tahun demi cintaku padaNya.
”Kamu menyesal Wij?”
“Tak ada gunanya menyesali masa lalu. Aku hanya ingin menatap masa depanku yang harus kuwarnai dengan kebaikan. Mungkin aku bahagia Un, apalagi ikut lomba senam artistic tingkat nasional memang mimpiku sejak dulu. Tapi itu hanya kebahagiaan duniawi saja kan Un ?”
Terbukti aku memang gila . Mulai dari mengebut surat pengunduran diri, meyakinkan pembimbing, melihat brosur tentang beberapa lomba yang bisa aku ikuti setelah aku keluar dari dunia kelamku.
“Lomba menulis Wij. Kamu harus ikut!
“Sejak kapan aku suka nulis. Kamu ini aneh-aneh saja”
”Kalau begitu lomba da’i Wij . Kamu cocok tuh. Kamu kan juga pinter dongeng ”
“Aku belum pernah ikut lomba da’i. Aku tak yakin.”
“Makannya dicoba. Biar kedepannya yakin”
“Hmmm.. Baiklah, akan aku buktikan pada Ayah, aku mampu menjadi yang lebih baik walau bukan menjadi atlet
“Intine sembodo Un. Buktikan kalau pilihanmu itu tepat. Orang tua butuh bukti pasti, bukan janji”
Aku terdiam menanti. Beralaskan sebuah keyakinan, aku berada dalam bingkai impian. Perlahan tapi pastiaku melangkah membawa sebongkah kebekuan yang hendak kupecah. Aku meniti medan dengan berbalut sebuah asa. Aku dan impianku sederhana, karena aku tahu segala impianku akan terwujud di tanah yang kupijak.
“ Bismillah... Bu, Una mau mengikuti lomba Da’i Pelajar mohon do’anya nggih, agar lombanya barokah, dan diberikan yang terbaik menurutNya.”
“Ibu selalu mendo’akanmu Nduk. Kamu tahu mana yang baik untukmu.Ibu selalu mendukungmu”
“Ibu....”
Suasana haru menyelimuti suasana pagi itu.
“Ayahmu sangat ingin kamu menjadi atlet nasional Nduk. Dia bangga ketika anaknya kelak bisa mengharumkan nama negerinya.” Ibu mendekap album photo bersampul biru dengan berurai air mata.
“Ibu.... Wiji minta maaf”
“Nduk, kenapa harus minta maaf? Kalau begitu pilihanmu, kamu harus yakin. Do’a Ibu selalu untukmu Nak”
“Ayah tak akan marah kan Bu?”
“Ayah ridho, ketika anaknya selalu dalam bingkai kebaikan. Insya Allah..”
Ibu memelukku selaksa ia tak ingin kehilangan orang yang ia cintai setelah ia kehilangan Ayah.Waktupun terus berlari tanpa kompromi, tibalah waktunya untukku  berlomba. Kupandangi photo almarhum ayahku. Tak kuasa aku menahan air mata ini.
“Ayah, maafkan Wiji. Wiji sayang Ayah dan tak ingin kehilangan cinta Ayah”
Aku hanya bisa tawakal setelah segala usaha dan do’a kulakukan dengan sepenuhnya. Dialah sebaik-baiknya penolong. Dan aku percaya Allah akan memuliakan hambaNya yang selalu berada dalam kebaikan.
“Kalau kerja itu totalitas Wij! Apapun hasilnya nanti, usahanya nggak boleh setengah-setengah” Aku selalu ingat kata Ayahku. Beliau seorang Ayah yang selalu totalitas dalam apapun.
Tiba ketika diumumkannya pemenang lomba. Ada namaku yang disebut oleh panitia.
“Juara pertama diraih oleh Wiji Widayati
Suaranya begitu menggelegar. Aku hampir tak percaya, pidato yang aku bawakan tadi mampu mengambil hati dewan juri.Dan terbukanya jalan untuk aku bisa lomba tingkat Propinsi.Aku percaya ini membuka segala pintu karirku yang lain Ada kehangatan yang menjalar di tubuhku. Rasa lemas, haru, dan kini semangatku terpompa lagi.
“Terimakasih telah menjadi bagian dari kekuatan itu Bu. Ayah, aku percaya Ayah bahagia melihatku separti ini. Aku akan berusaha menembus tingkat Propinsi saat lomba nanti”
“Selamat Wij. Aku percaya kamu bisa”
Una, makasih untuk semuanya ya...”
     “ Sebulan lagi hari kelulusan. Jadi mau kuliyah dimana?”
“Entahlah.. Tak mungkin di psikologi dengan mengharap bantuan dari Pak Anto ”
“Lalu....”
“Masih menunggu kejelasan ibuku. Aku tak mungkin memaksakan ibuku untuk sanggup membiayaiku kuliyah demi ambisiku ”
Setelah kelulusan itu, aku semakin tak yakin. Apa semua akan selesai di sini? Aku ingin tak hanya sampai disini. Bahkan,untuk menanyakan kejelasan masa depanku pada ibu saja aku tak berani.
“Masih ingin di Psikologi Nduk?”
Andai orang yang bertanya padaku adalah seorang dermawan yang dengan ketulusan hatinya membiayaiku kuliyah, pasti aku akan mengiyakannya.
“Yang penting kan ilmunya,mau dimanapun Insya Allah baik kan Bu”
“Lalu jadi mau ambil apa Nduk?”
“Bismillah... Pendidikan Agama Islam Bu” jawabku tegas. Kupikir dengan begitu, aku akan mudah mengaktualisasikan diri. Selain mempertimbangkan ekonomi keluargaku, aku tak ingin setengah-setengah ketika dulu aku melepaskan duniaku yang kelam demi sebuah kebaikan.
“Baiklah Nduk, Insya Allah tabungan ibu cukup. Sekarang kamu mempersiapkan diri untuk tesnya. Tiga bulan ini kau manfaatkan dengan baik”
“Insya Allah Bu”
Esok harinya ketika perpisahan,kupandangi halaman kampus SMAku, dan tampak begitu indah. Kusempatkan menyisiri halaman depan aula, sembari menikmati udara yang berhembus pelan.  Kini hidupku menjadi kian indah karena aku mengenal kalian saudara-saudariku. Terimakasih sudah menjadi bagian dari hidupku, menjadi pembelajaran dari proses pendewasaanku. Terima kasih kawan! Dan ingatlah walau kita harus berpisah nanti, kalian tak akan pernah hilang dari ingatannku, bahkan dari hatiku karena kalian adalah kado terindah yang Allah berikan untukku. “Ayah,Ibu.. Wiji sayang kalian. Wiji percaya selama Wiji berada dalam bingkai kebaikan, kalian akan bangga dan bahagia” bulir-bulir air mata mengalir dari pelupuk mataku. Semua kini telah berlalu. Tiada yang ingin kuulang, tiada yang ingin kuubah. Yang ada aku hanya ingin lebih tegar menjalani semua ini, karena aku percaya bahwa setiap prosesnya adalah indah.


-------------------------oOo------------------------------

0 komentar:

Posting Komentar