Assalamualaikum..
Pagi-pagi enaknya ngapain yaaa?
O iya baca cerpen dari LazisMU ahh, pasti seru nihh..
Ayuuuk temen-temen juga ikut baca yaaa :)
Oleh : Lutfah Inganah
Email : lut.inganah@gmail.com
Pagi-pagi enaknya ngapain yaaa?
O iya baca cerpen dari LazisMU ahh, pasti seru nihh..
Ayuuuk temen-temen juga ikut baca yaaa :)
MERAJUT
TALI KASIH ALLAH
Email : lut.inganah@gmail.com
Aku
baru saja kembali dari ruang kelas lima, ketika sebuah undangan bersama sebuah
kue hantaran kembali di sodorkan kepadaku. Entah sudah ke berapa undangan
datang bersama kue hantaran yang datang minggu ini, seakan-akan menyapa lelahku
setiap jam istirahat siang. Dengan senyuman pahit, ku terima undangan itu.
Itulah Indonesia, desahku dalam angan yang tak sempat ku sampaikan kepada
orang-orang di ruangan kerjaku. Setiap musim kawin mereka datang menghantarkan
undangan, disusul undangan lahiran, lalu disusul dengan undangan khitanan dan
seterusnya. Ku letakkan undangan dengan ukiran indah itu bersama setumpuk
undangan lain yang datang dari entah teman sejawat atau wali murid dan bahkan terkadang
dari antah berantah, yang pasti mereka suka sekali mencatut namaku meskipun tak
perlu mengenalku terlebih dahulu.
Aku
duduk sambil menyeruput segelas teh manis yang sudah kehilangan kehangatannya. Dan
mendorong kue brownies dengan toping berbagai warna dalam kotak itu jauh-jauh
dari pandanganku. Dengan diam-diam aku merogoh dompetku, perlahan membukanya, hingga
hanya kudapati selembar uang lima puluh ribuan yang nongol sendirian diantara
tumpukan kertas bon-bon dalam ruang sempit dompetku. Aku menatap hampa. Lima
puluh ribu? Aku kembali terbawa masuk kedalam ruang sempit angan-anganku. Siapa
pun yang berada di posisiku saat ini pasti juga akan berusaha untuk merajut
angan. Jujur, hari ini bensin di tangki motorku sudah benar-benar limit,
berarti butuh minimal sepuluh ribu untuk mendorong mesin tua itu bekerja lebih
baik, belum lagi aku masih membutuhkan untuk membalas beberapa sms dari
teman-temanku, karena masa aktif pulsaku sudah kelewat tiga hari lalu, dan
masih yang lainnya lagi dan lagi.
Lima
puluh ribu. Aku melirik sebuah kalender kecil di ujung mejaku, masih kurang
satu setengah bulan sampai gajiku turun. Pikiranku mulai terkacaukan kembali, diam-diam
aku menarik pengait laci meja kerjaku. Dan seketika aku terkesiap melihat
tumpukan undangan yang seakan-akan menari-nari menampar kekacauan pikiranku
saat itu. Aku terduduk lesu. Tak ada harapan. Sebagai seorang guru honorer yang
setiap bulannya hanya menerima gaji tiga ratus lima puluh ribu rupiah, dan yang
pasti hanya dibayarkan setiap empat bulan sekali, aku harus menggantungkan nasibku
pada kemujuran. Berdamai dengan kertas bon setiap bulan, dan terkadang masih
harus meminta orang tua untuk mengganjal uang sumbangan.
Belum
usai, ketegangan yang ku buat dengan uang lima puluh ribu-ku serta setumpuk
kertas undangan di laci mejaku, seorang temanku-sesama guru honorer datang
tergopoh-gopoh menemuiku. Bedanya aku belum berkeluarga, lain dengannya. Ia
menarik sebuah kursi dari salah satu meja di kantor guru tersebut, matanya
mulai memerah, sembab. “Bu... tolongin saya bu, hari ini beras di rumah habis, sedang
bapaknya Linda sulit di hubungi, saya sudah bingung, susu Arka juga sudah habis
bu...., saya coba nyari ke teman-teman, mereka juga belum bisa nolong saya...” begitu
katanya, ia mulai menghiba kepadaku, dengan wajah pengharapan penuh, serta air
mata yang sesekali meleleh dan cepat-cepat di usapnya, begitu seterusnya.
Ribuan angan yang kurangkai dengan uang lima puluh ribu-ku melebur sudah
berganti menjadi perasaan sedih melihat penderitaan yang harus ditanggung teman
sendiri. Setelah perceraian dengan suami pertamanya, ia menikahi seorang supir
truk. Alangkah buruk nasibnya, laki-laki yang awalnya bersedia memberikan
perlindungan hidup dan mati kepadanya, dua bulan yang lalu melarikan diri
dengan membawa utang-utangnya akibat kalah dalam perjudian. Hatiku tergetar,
merinding mengingat nasibnya, nasib si kecil Arka dan Linda. Dengan kepasrahan
yang luar biasa, bismillah Ku serahkan uang terakhir milikku kepadanya.
“Bu... tapi maaf hanya ini uang terakhir yang
saya miliki, jadi saya belum bisa membantu banyak, insyaAllah ada rezeki dari
Allah yang pastinya datang dari arah yang tidak terkira, yakin saja bu, Linda
dan Arka sudah di jatah rezeki sama Allah” aku berusaha mengurai ketegangan
yang terjadi. “Bu.. terimakasih sekali atas pertolongannya kali ini, semoga
Allah mengembalikan seribu kali lipat kepada Bu Hanifah....” lanjutnya, tanpa
kusadari aku hanya mengangguk sambil mengucap “Amiin...” secara lirih.
Maka
siang itu, usai sudah impianku dengan uang lima puluh ribu-ku. Sepanjang jalan
pulang, hati, pikiran, serta lisanku terus berkomat-kamit berdoa semoga motorku
tidak macet di jalan, karena jarum penunjuk bensin di motorku telah berhenti
pada warna merah terang. Akan tetapi, alhamdulillah mungkin atas kehendak
Allah, nyatanya aku masih mampu sampai ke pekarangan rumahku dengan selamat.
Aku
baru saja mau menyendok makan siangku, ketika pintu rumahku di ketuk seseorang.
Ku letakkan kembali nasi bersama kawan-kawannya, yang jujur sudah menggoda
perut kosongku. Aku berjalan gontai menuju pintu kayu yang berjarak empat meter
dari ruang tengah. Dan seketika terbersit pikiran buruk di benakku. Undangan
siapa lagi? Ya kalimat itu yang pertamakali muncul dalam anganku. Dan puluhan
kalimat lain yang datang bersamaan dengan pertanyaan itu adalah bagaimana aku
harus menghadiri undangan, bahkan satu perak pun aku tak punya.
Klek.... ketika pintu
kayu itu terbuka, seketika aku berdiri mematung dengan mata sedikit melotot.
“Hanifah.....” seru seorang perempuan gemuk, dengan dua orang anak yang masih
berusia dua-tiga tahunan, membentangkan tangannya kearahaku. Ya dia adalah
kawan SMP ku. Setidaknya gugur sudah anganku tentang undangan. Karena yang
datang adalah kawan lamaku dengan maksud dan tujuan yang tak kuketahui.
Setelah
begitu lama mengobrol ngalor ngidul, menanyakan kabar, menceritakan karir dan
sebagainya maka masuklah ke dalam pembicaraan inti.
“Nif...
masih ingat nggak waktu kita SMP aku sering banget nyusahin kamu, entah dengan
PR, entah dengan tugas dan sebagainya, inget kan....” ia memulai pembicaraannya
lagi di ikuti senyum yang berkali-kali mengembang, membuatku mengingat kelakuan
anehnya yang enggak pernah mau mengerjakan tugas waktu SMP dulu. “Nah.... untuk
menyambung tali silaturahmi sekaligus sebagai tanda terimakasihku, karena kamu
udah menyelamatkan hidupku selama bertahun-tahun ini ehmmm...” dia tak
melanjutkan kalimatnya. Dua gadisnya yang manis itu tersenyum kearahku, yang
entah paham atau tidak dengan pembicaraan kami. Tapi dua gadis kecil itu
sungguh-sungguh telah mengalihkan perhatianku. Aku mengangkat mereka satu demi
satu ke pangkuanku, awalnya menjerit-jerit lalu pasrah dalam dekapanku yang
lembut, aku tertawa geli. Dan saat itu pula tiba-tiba Sa’diyah menyodorkan
amplop berwarna coklat ke tanganku. “Han... tolong diterima ya, aku hanya
bermaksud untuk menyambung persahabatan dan silaturahmi kita, mungkin nggak
seberapa, tapi artinya aku ingin kita menjalin komunikasi yang baik seperti
waktu SMP dulu...”.
Subhanallah...
seakan-akan hujan deras tiba-tiba mengguyur tanah yang kekeringan, yang sudah
menganga karena ditinggalkan air. Sejuk dan menenangkan hati. Ribuan kalimat
syukur ku ucapkan kepada Allah. Dalam amplop coklat itu, Sa’diyah menyisipkan
uang lima ratus ribu rupiah, yang pasti jauh lebih besar dari gaji bulananku. Hari
itu aku menyadari, betapa luasnya rezeki Allah, dan aku sadar bahwa Allah tidak
pernah mengingkari janjinya. Allah akan menolong umat-Nya, yang mau menolong
sesamanya. Ya, itu semua adalah min
haitsu la yah ta tsib-Nya Allah, yaitu rezeki yang datang dari arah yang
tak terkira-kira. Dan hari itu aku juga belajar mengukir sebuah makna tentang
persahabatan, tentang menolong teman yang sedang kekurangan serta tentang
hikmah silaturahmi sekaligus. Semoga Allah selalu menyatukan kami dalam ikatan tali
kasih-Nya, dalam ukhuwah islamiyah yang sesungguhnya. Aamiin.
Purworejo, 27 April 2016