Lazismu kantor layanan Umbulharjo Aksi bersama untuk sesama salurkan Zakat Infaq Sodaqoh anda melalui rekening BNI Syariah 0457274314 a.n Lazismu Kantor Layanan Umbuharjo dan melalui rekening BUKOPIN Syariah 7709002554 a.n A.Rosyid QQ Lazismu KL.UH

Minggu, 22 Januari 2017

CERPEN MERAJUT TALI KASIH ALLAH

Assalamualaikum..
Pagi-pagi enaknya ngapain yaaa?
O iya baca cerpen dari LazisMU ahh, pasti seru nihh..
Ayuuuk temen-temen juga ikut baca yaaa :)

MERAJUT TALI KASIH ALLAH

Oleh : Lutfah Inganah
Email : lut.inganah@gmail.com 


Aku baru saja kembali dari ruang kelas lima, ketika sebuah undangan bersama sebuah kue hantaran kembali di sodorkan kepadaku. Entah sudah ke berapa undangan datang bersama kue hantaran yang datang minggu ini, seakan-akan menyapa lelahku setiap jam istirahat siang. Dengan senyuman pahit, ku terima undangan itu. Itulah Indonesia, desahku dalam angan yang tak sempat ku sampaikan kepada orang-orang di ruangan kerjaku. Setiap musim kawin mereka datang menghantarkan undangan, disusul undangan lahiran, lalu disusul dengan undangan khitanan dan seterusnya. Ku letakkan undangan dengan ukiran indah itu bersama setumpuk undangan lain yang datang dari entah teman sejawat atau wali murid dan bahkan terkadang dari antah berantah, yang pasti mereka suka sekali mencatut namaku meskipun tak perlu mengenalku terlebih dahulu.

Aku duduk sambil menyeruput segelas teh manis yang sudah kehilangan kehangatannya. Dan mendorong kue brownies dengan toping berbagai warna dalam kotak itu jauh-jauh dari pandanganku. Dengan diam-diam aku merogoh dompetku, perlahan membukanya, hingga hanya kudapati selembar uang lima puluh ribuan yang nongol sendirian diantara tumpukan kertas bon-bon dalam ruang sempit dompetku. Aku menatap hampa. Lima puluh ribu? Aku kembali terbawa masuk kedalam ruang sempit angan-anganku. Siapa pun yang berada di posisiku saat ini pasti juga akan berusaha untuk merajut angan. Jujur, hari ini bensin di tangki motorku sudah benar-benar limit, berarti butuh minimal sepuluh ribu untuk mendorong mesin tua itu bekerja lebih baik, belum lagi aku masih membutuhkan untuk membalas beberapa sms dari teman-temanku, karena masa aktif pulsaku sudah kelewat tiga hari lalu, dan masih yang lainnya lagi dan lagi.

Lima puluh ribu. Aku melirik sebuah kalender kecil di ujung mejaku, masih kurang satu setengah bulan sampai gajiku turun. Pikiranku mulai terkacaukan kembali, diam-diam aku menarik pengait laci meja kerjaku. Dan seketika aku terkesiap melihat tumpukan undangan yang seakan-akan menari-nari menampar kekacauan pikiranku saat itu. Aku terduduk lesu. Tak ada harapan. Sebagai seorang guru honorer yang setiap bulannya hanya menerima gaji tiga ratus lima puluh ribu rupiah, dan yang pasti hanya dibayarkan setiap empat bulan sekali, aku harus menggantungkan nasibku pada kemujuran. Berdamai dengan kertas bon setiap bulan, dan terkadang masih harus meminta orang tua untuk mengganjal uang sumbangan.

Belum usai, ketegangan yang ku buat dengan uang lima puluh ribu-ku serta setumpuk kertas undangan di laci mejaku, seorang temanku-sesama guru honorer datang tergopoh-gopoh menemuiku. Bedanya aku belum berkeluarga, lain dengannya. Ia menarik sebuah kursi dari salah satu meja di kantor guru tersebut, matanya mulai memerah, sembab. “Bu... tolongin saya bu, hari ini beras di rumah habis, sedang bapaknya Linda sulit di hubungi, saya sudah bingung, susu Arka juga sudah habis bu...., saya coba nyari ke teman-teman, mereka juga belum bisa nolong saya...” begitu katanya, ia mulai menghiba kepadaku, dengan wajah pengharapan penuh, serta air mata yang sesekali meleleh dan cepat-cepat di usapnya, begitu seterusnya. Ribuan angan yang kurangkai dengan uang lima puluh ribu-ku melebur sudah berganti menjadi perasaan sedih melihat penderitaan yang harus ditanggung teman sendiri. Setelah perceraian dengan suami pertamanya, ia menikahi seorang supir truk. Alangkah buruk nasibnya, laki-laki yang awalnya bersedia memberikan perlindungan hidup dan mati kepadanya, dua bulan yang lalu melarikan diri dengan membawa utang-utangnya akibat kalah dalam perjudian. Hatiku tergetar, merinding mengingat nasibnya, nasib si kecil Arka dan Linda. Dengan kepasrahan yang luar biasa, bismillah Ku serahkan uang terakhir milikku kepadanya.

 “Bu... tapi maaf hanya ini uang terakhir yang saya miliki, jadi saya belum bisa membantu banyak, insyaAllah ada rezeki dari Allah yang pastinya datang dari arah yang tidak terkira, yakin saja bu, Linda dan Arka sudah di jatah rezeki sama Allah” aku berusaha mengurai ketegangan yang terjadi. “Bu.. terimakasih sekali atas pertolongannya kali ini, semoga Allah mengembalikan seribu kali lipat kepada Bu Hanifah....” lanjutnya, tanpa kusadari aku hanya mengangguk sambil mengucap “Amiin...” secara lirih.

Maka siang itu, usai sudah impianku dengan uang lima puluh ribu-ku. Sepanjang jalan pulang, hati, pikiran, serta lisanku terus berkomat-kamit berdoa semoga motorku tidak macet di jalan, karena jarum penunjuk bensin di motorku telah berhenti pada warna merah terang. Akan tetapi, alhamdulillah mungkin atas kehendak Allah, nyatanya aku masih mampu sampai ke pekarangan rumahku dengan selamat.

Aku baru saja mau menyendok makan siangku, ketika pintu rumahku di ketuk seseorang. Ku letakkan kembali nasi bersama kawan-kawannya, yang jujur sudah menggoda perut kosongku. Aku berjalan gontai menuju pintu kayu yang berjarak empat meter dari ruang tengah. Dan seketika terbersit pikiran buruk di benakku. Undangan siapa lagi? Ya kalimat itu yang pertamakali muncul dalam anganku. Dan puluhan kalimat lain yang datang bersamaan dengan pertanyaan itu adalah bagaimana aku harus menghadiri undangan, bahkan satu perak pun aku tak punya.

 Klek.... ketika pintu kayu itu terbuka, seketika aku berdiri mematung dengan mata sedikit melotot. “Hanifah.....” seru seorang perempuan gemuk, dengan dua orang anak yang masih berusia dua-tiga tahunan, membentangkan tangannya kearahaku. Ya dia adalah kawan SMP ku. Setidaknya gugur sudah anganku tentang undangan. Karena yang datang adalah kawan lamaku dengan maksud dan tujuan yang tak kuketahui.

Setelah begitu lama mengobrol ngalor ngidul, menanyakan kabar, menceritakan karir dan sebagainya maka masuklah ke dalam pembicaraan inti.

“Nif... masih ingat nggak waktu kita SMP aku sering banget nyusahin kamu, entah dengan PR, entah dengan tugas dan sebagainya, inget kan....” ia memulai pembicaraannya lagi di ikuti senyum yang berkali-kali mengembang, membuatku mengingat kelakuan anehnya yang enggak pernah mau mengerjakan tugas waktu SMP dulu. “Nah.... untuk menyambung tali silaturahmi sekaligus sebagai tanda terimakasihku, karena kamu udah menyelamatkan hidupku selama bertahun-tahun ini ehmmm...” dia tak melanjutkan kalimatnya. Dua gadisnya yang manis itu tersenyum kearahku, yang entah paham atau tidak dengan pembicaraan kami. Tapi dua gadis kecil itu sungguh-sungguh telah mengalihkan perhatianku. Aku mengangkat mereka satu demi satu ke pangkuanku, awalnya menjerit-jerit lalu pasrah dalam dekapanku yang lembut, aku tertawa geli. Dan saat itu pula tiba-tiba Sa’diyah menyodorkan amplop berwarna coklat ke tanganku. “Han... tolong diterima ya, aku hanya bermaksud untuk menyambung persahabatan dan silaturahmi kita, mungkin nggak seberapa, tapi artinya aku ingin kita menjalin komunikasi yang baik seperti waktu SMP dulu...”.

Subhanallah... seakan-akan hujan deras tiba-tiba mengguyur tanah yang kekeringan, yang sudah menganga karena ditinggalkan air. Sejuk dan menenangkan hati. Ribuan kalimat syukur ku ucapkan kepada Allah. Dalam amplop coklat itu, Sa’diyah menyisipkan uang lima ratus ribu rupiah, yang pasti jauh lebih besar dari gaji bulananku. Hari itu aku menyadari, betapa luasnya rezeki Allah, dan aku sadar bahwa Allah tidak pernah mengingkari janjinya. Allah akan menolong umat-Nya, yang mau menolong sesamanya. Ya, itu semua adalah min haitsu la yah ta tsib-Nya Allah, yaitu rezeki yang datang dari arah yang tak terkira-kira. Dan hari itu aku juga belajar mengukir sebuah makna tentang persahabatan, tentang menolong teman yang sedang kekurangan serta tentang hikmah silaturahmi sekaligus. Semoga Allah selalu menyatukan kami dalam ikatan tali kasih-Nya, dalam ukhuwah islamiyah yang sesungguhnya. Aamiin.


Purworejo, 27 April 2016

Jumat, 20 Januari 2017

Program Orang Tua Asuh Pendidikan

Hallo sahabat Lazis apa kabar? Semoga Allah selalu memberi perlindungan bagi kita semua aminnn..

Banyak sekali anak usia sekolah terpaksa tidak melanjutkan pendidikannya dikarenakan keadaan ekonomi mereka tidak mendukung. Alhamdulillah Kantor Layanan LAZISMU Umbulharjo memiliki Program Orang Tua Asuh Pendidikan yang mana program ini akan membantu mereka yang kurang mampu untuk dapat bersekolah. Untuk itu, bagi sahabat Lazis yang bersedia menjadi donatur bagi dalam program ini, adapun rinciannya :

1. Orang Tua Asuh SD        Rp 100.000
2. Orang Tua Asuh SMP    Rp 150.000
3. Orang Tua Asuh SMA    Rp 200.000

Bagi sahabat Lazis yang mau berdonatur bisa bebas memilih jenjang pendidikan asuh dan berapa bulan sekali biaya asuh bisa diambil. Semoga program ini dapat memberi semangat menempuh pendidikan bagi mereka yang kurang mampu.


Rek ZISWAF :
BNI SYARIAH 0457274314
a.n Lazismu Kantor Layanan Umbulharjo
BANK SYARIAH BUKOPIN 7709002554
a.n A.Rosyid QQ Lazismu KL. UH

Selasa, 17 Januari 2017

KEGIATAN MAHASISWA KKN UAD (PENGADAAN BUKU-BUKU KEISLAMAN & KEMUHAMMADIYAHAN)

Alhamdulilllah..
LAZISMU Kantor Layanan Umbulharjo turut serta membantu kegiatan Mahasiswa KKN UAD yaitu, Pengadaan Buku-Buku Keislaman dan Kemuhammadiyahan. Kami sangat mengapresiasi kegiatan tersebut, karena tujuan dari kegiatan tersebut adalah menambah wawasan anak-anak tentang agama Islam.
Semoga kegiatan mulia ini dapat membawa hikmah dan berjalan lancar. Aamiin...







Kamis, 12 Januari 2017

GERAKAN BERZAKAT INFAQ RAME-RAME

Halo temen-temen....
Ikutan GEMBIRA (Gerakan Berinfaq Zakat Rame-Rame) bareng LAZISMU Kantor Layanan Umbulharjo yuuuk..

Caranya gampang banget..
Cukup dengan berinfaq 2 ribu, temen-temen bakalan dapet stiker dari kita bisa ditempel dimanapun yang kalian suka.





Kalo temen-temen pengen stiker yang ukuran agak besar tenang aja kita juga menyediakan, cukup dengan infaq 5 ribu.


Gimana seruuu kannn? Lebih seru lagi kalo temen-temen ajak temen yang lain. Biar mereka semua juga ikut GEMBIRA!!

(0274) 380041 / 08995051540
Gedung Dakwah PCM Umbulharjo,
Jl. Glagahsari 136 Umbulharjo Yogyakarta

REK ZISWAF :
BNI SYARIAH : 0457274314
a.n Lazismu Kantor Layanan Umbulharjo
BANK SYARIAH BUKOPIN:
7709002554
a.n A.Rosyid QQ Lazismu KL. UH


Selasa, 10 Januari 2017

JIKA TIDAK BISA MENYANYANGI PALING TIDAK JANGAN SAKITI KAMI

SURAT DARI SEEKOR KUCING LIAR

“JIKA TIDAK BISA MENYANYANGI PALING TIDAK

JANGAN SAKITI KAMI”



Dikutip dari FB seorang penyayang kucing.

Salam saudaraku….
Maaf apabila tulisanku ini mengganggumu. Namun aku tidak bisa bercerita langsung kepada kalian. Aku hanya bisa menulis di secarik kertas lusuh ini.

Kemarin aku sedang berjalan dan melihat temanku berlindung di sebuah benda besar. Benda itu memiliki 4 roda, dan kelihatannya terbuat dari besi yang sangat berat. Aku tidak tahu nama dari benda itu. Tapi benda itu telah membunuh temanku. Ketika benda itu mundur, temanku tertindih benda itu.

Benda itu pergi, lalu aku cepat-cepat lari menghampiri temanku. Aku memanggilnya namun Ia hanya terdiam. Aku melihat darah keluar dari kepala dan lehernya. Aku menjilati darah temanku sambil menangis sampai ada seorang manusia yang mengubur temanku dan menyuruhku pergi dari tempat itu. Betapa baiknya manusia itu. Aku tidak akan pernah melupakannya yang telah menolong sahabatku.

Aku kembali berjalan dan melihat tempat sampah di depanku. Kalian menyebutnya tempat sampah. Namun bagiku ini adalah tempat mencari makan. Setidaknya kami tidak perlu membayar untuk mendapatkan beberapa potong ayam basi. Oh, ternyata di tempat makan ini tidak ada makanan.

Aku terus berjalan sambil menelusuri setiap tempat sampah yang ada. Aku lapar, namun aku hanya bisa mengais tempat ini. Andai saja sahabatku masih hidup. Ia pasti akan sangat menghiburku.

Akhirnya aku mendapatkan sepotong ayam. Meskipun tinggal tulang, aku sangat bersyukur. Namun tiba-tiba ada jantan lain yang mencakar punggungku dan merebut makananku. Ya, kami memang harus bertengkar untuk mendapatkan makanan dan seekor betina. Aku hanya merelakannya dan mengais tempat makan lainnya.

Aku menemukan ayam lagi, dan yang ini lebih besar! Aku sangat bersyukur dan bahagia. Namun ada seorang manusia yang datang dan menendang kepalaku. Aku langsung lari membawa ayam itu dan menikmatinya di tempat yang aman.

Kepalaku masih terasa sakit sekali karena tendangan manusia tadi. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanyalah seekor kucing yang tidak disukai banyak manusia.
Terkadang aku berfikir bahwa menjadi manusia enak sekali. Kalian bisa mencari makanan yang layak dan bergizi. Kalian juga bisa hidup bersama sebagai keluarga.


Aku pulang dengan menenteng sisa ayam di mulutku. Ya, aku sengaja menyisakan ayam tadi untuk anak dan istriku tercinta.

Begitu sampai, istriku bilang bahwa anak kami dipisahkan dari kami oleh seorang manusia. Istriku tidak tahu kemana anak-anak kami dibawa. Kami hanya bisa menangis. Layaknya kalian, kami juga ingin melihat anak kami tumbuh besar dan sehat. Namun itu hanya tinggal impian semata.

Terkadang aku merasa iri dengan kucing-kucing yang dipelihara oleh manusia. Mereka mendapatkan kasih sayang yang besar dan makanan yang layak. Namun kucing-kucing itu adalah bule yang bulunya panjang, lebat, dan halus. Ya aku sebagai kucing kampung hanya bisa melihat mereka dari jauh.

Dan kebanyakan kucing ras lebih banyak disukai oleh manusia, ketimbang kami kucing kampung, ya kami akui kungkin karena kami kotor dan tidak lucu, tidak seperti mereka kucing ras,

Jika aku harus berhenti dan mengais pada setiap tempat sampah, kucing peliharaan hanya tinggal berteriak kelaparan dan majikannya akan memberi makanan.

Pernah suatu waktu aku berusaha mencicipi makanan mereka, namun aku ditimpuk dengan batu oleh majikan mereka.
Ketika melihat manusia makan ikan, aku menghampirinya. Aku berharap mereka akan memberikan rasa iba terhadapku.

Namun aku ditendang lagi. Rasanya sangat sakit. Aku langsung pergi dan hanya bisa berdoa agar manusia itu segera berubah.
Kita sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, namun mengapa kalian begitu benci terhadap kami? Ya, tubuh kami penuh luka dan menjijikan. Kami memang harus berjuang demi anak-anak dan istri kami. Memang bukan dengan pergi ke kantor, tapi dengan mencari makanan. Mengapa kalian begitu angkuh terhadap kami? Padahal kami tidak pernah menendang atau membalas semua perbuatan kalian.

Sekarang, aku mau menyebrang. Ini bertaruh antara hidup dan mati. Begitu banyak benda yang mirip dengan pembunuh temanku. Jika aku tidak selamat dalam penyebrangan ini, aku hanya bisa berharap anak-anak dan cucu-cucuku mendapat perlakuan yang layak dari kalian.



Biar aku saja yang menerima perlakuan malang ini. Tolong jaga dan kasihi keturunanku ya manusia. Semoga dengan surat ini kalian tahu seberapa besar penderitaan kami.

Senin, 09 Januari 2017

CERPEN PENAKLUK KOTA MATI

Assalamualaikum..
Mumpung masih pagi baca kumpulan cerpen dari LAZISMU kuuuy...

PENAKLUK KOTA MATI

Karya : Erna Kurniawati
Email : kurnia.erna25@gmail.com



Pemuda yang cerdas, unik, dan bersahaja. Hidup berkreasi dengan anak-anak kecil  yang tak seusianya, membawa ia dalam pengembaraan panjang, terlempar oleh dimensi waktu. Bersama mereka, ia banyak menemukan hal yang tau entah apa. Mengusik hati kecilnya. Terpekur dan terdiam beberapa saat lamanya, ketika ia dikejutkan kala waktu itu oleh anak yang bernama Vei. “kak Zein,  Aku ingin bisa terbang mengecup awan putih di atas sana. Menari dan menghiasi warna langit.” Sontak membuatku terkejut dan sedikit memicingkan mata. Aku tak tau apa yang ada dalam benak pikirannya. Yang aku tau hanyalah celotehan anak kecil. Sempat tak ku hiraukan. Namun selang beberapa hari, tak kusangka kata-kata itu masih terus mengiang, memenuhi kepalaku, sampai saat ini. Membuatku bingung.
                                                                      ***


“zein, sepulang dari pekarangan Pak Dede. Tolong kau antar orderan baju-baju ini  ke tetangga sebelah, yah. Tertera namanya dalam kertas kecil. Ibu sore ini mau mengantar bapakmu ke rumah Ibu Sukma untuk diperiksa.” seru Ibu.
Aku hanya mengangguk. Kata-kata Ibu seolah mengembalikan jiwaku dari buaian angan.
Seperti biasa mentari pagi memaksa mengayunkan langkah kaki ini, dibawah terik matahari panas, hujan, seolah kebal dan menjadi rutinitas kala demi tanggung jawab keluarga. Bersimpuh diri menyambut senja. Setelah sekian hari membantu Pak Dede memetik hasil panen jeruk, merawat cabe rawit dan jagung di pekarangannya. Kami duduk terdiam melepas penat. Tiba-tiba beliau berucap, “sudah lama aku tekuni pekerjaan ini. Dan berharap ada perubahan pada desa Andana. Mereka yang berpendidikan tinggi, sarjana, dan menjadi guru.” Aku termenung. Kembali beliau melanjutkan perkataannya.
“ada secercah dalam dirimu, Nak. Pemuda tangguh. Semangat mu tinggi. Bapak bisa mengerti dari kilatan matamu.”
“apakah semua terlihat seperti itu ?” tanyaku lirih.
“terkadang aku tak mengerti apa yang dimaksud dengan semua yang ditujukan padaku. Segala sesuatunya. Tanpa peduli apa penyebabnya, terus mempertanyakan dan berusaha menghibur diri dengan menyalahkan keadaan yang ada.”
“dan menurut Bapak, bagaimana mestinya. Apa yang harus dilakukan?” kembali aku mempertanyakan.
Tanpa tau aku sedikit menanti jawaban darinya. Tapi tak kutemukan. Hanya hening. Sedikit bergeming. Dia berdiri dan melangkah pergi. Terselip di tanganku tulisan yang entah apa tak terbaca. Tapi aku tau itu. Samar-samar kubaca: Tanyakan pada dirimu. Sesuatu hal yang ku percayakan padamu.
                                                                      ***

Tak bisa ku mengerti. Apa maksud dari ucapan nya. Meski berusaha menghirup kata-kata dengan menyadapkan makna. Masa bodoh dengan semua itu. Lelah aku memikirkannya. Mencoba abaikan, tapi tak bisa. Semua membisu. Hanya terdengar bisikan angin malam. Di bawah teduh purnama. Cahayanya menyoroti wajah kami yang tengah asyik bercengkerama. Di temani tujuh bidadari-bidadari kecil. Mereka adalah Vei, Ryn, Tarra, Ayse, Huril In & Huril Ein dan Khan. Bidadari-bidadari kecil ini sedang mendengarkan cerita-cerita konyolku. Sesekali terdengar riuh tawa renyah mereka. Dan tiba giliran satu dari mereka bercerita. Seseorang mengangkat tangan bersamaan, Ryn dan Tarra.
“hmm, baiklah akan Kak Zein  tunjuk salah satu dari kalian, yah. Ryn coba ceritakan. Apa ceritamu.”
“oke Kak, Ryn akan cerita tentang seorang mahkota kerajaan yang sedang mencari sosok pendamping istana.”
Ryn mencoba mengungkapkan tokoh cerita mahkota kerajaan dengan segala tingkah laku menggemaskan, mata lebarnya sedikit berkelok kekanan dan kiri. Bibir mungilnya berkerut-kerut. Sesekali meringis melihatkan gigi putihnya.
“cerita yang bagus, Putri mahkota kecil.” ucapku sembari memberi tepuk tangan dan sedikit mencubit rona merah pipinya.
Ryn tersenyum simpul. Tarra agaknya kecewa dan berkecil hati belum mendapat kesempatan bercerita. Aku langsung menghampirinya dan memberinya sedikit hiburan. Kulihat Vei tengah asyik berimajinasi seolah menggambar sesuatu yang ada di sekelilingnya.Tanpa tahu apa itu. Ayse dan dua kembar srikandi, Huril In & Huril Ein sedang tenggelam bersama cerita dan obrolan mereka. Dan untuk yang satu ini, Khan, seolah tak peduli dengan semua itu. Ia asyik dengan dunianya sendiri.
***

Pagi ini aku pergi ke tempat pameran buku. Disana buku terjual murah. Karena libur, aku sempatkan waktu luang untuk pergi kesana. Yah, aku ingin memberikan kejutan hadiah untuk tujuh bidadari kecilku. Mereka yang bernasib sama denganku. Tapi kini aku punya mereka, dan mereka pun menganggap hal yang sama.
Tiba disana kulihat lalu-lalang orang berjejalan mengerumuni. Belum terlalu ramai sepertinya. Aku berjalan ke tempat jualan buku anak-anak. Seorang perempuan berhijab menghampiri. Terlihat anggun dengan balutan gamis merah jambu. Dengan membawa buku di pangkuan tangannya. Aku berdiri tepat di sampingnya. Dia tengah sibuk memilih buku. Begitu juga denganku. Sampai pada satu titik pandangan yang sama tertuju pada satu buku. Ku raih buku itu, begitu juga dia. Tak sengaja jari-jemari kami bersentuhan.
“maaf,” ucap kami berbarengan. Saling menunduk.
“ehm, Mbak menginginkan buku itu, boleh itu untuk Mbak saja. Saya bisa cari yang lain. Sepertinya disana ada.” kataku sedikit gugup.
“iya makasih.” ucapnya lirih sembari tersenyum. Sedikit melirikku.
Sebentar menoleh. Tanganku menampil tumpukan buku. Jatuh  berserakan.
“ah, maaf sudah merepotkan.” ucapku. Ia turut membantu.
“tak apa. Sama seperti yang Mas lakukan barusan. Saya senang. Sekali lagi terima kasih.” Sambil menunjukkan buku yang dipegangnya. Kemudian melangkah pergi. Berhambur bersama kerumunan orang. Dan aku masih duduk terpaku, memandang sekelibatan kerudung gadis itu oleh terpaan angin. Sekejap mata lalu seketika menghilang dari pandangan ku. Fairuz, nama gadis itu. Mahasiswi D1 Studi Islam Paramadina. Aku tahu dari kartu nama yang tak sengaja ia jatuhkan.
***

Tersenyum menatap wajahnya dalam angan. Nyata jelas terlihat. Di tangan ku tergenggam sepucuk kartu nama, perlahan aku baca, Fairuz Zakiyah. Suaranya terdengar lembut berbisik di telinga ku. Nyaring. Melengking. Seru sorak anak-anak sedikit membuyarkan lamunanku.
“waah..waah.. bukunya banyak sekali. Bagus-bagus ini, Kak Zein. Lihat! Lucu ada gambarnya.” seru Ayse.
“ini untuk kami semua, Kak.” tanya Vei.
Aku tersenyum. Melihat kegirangan mereka. Sepintas teringat impianku yang telah lama pudar. Seberkas bayangan yang terus menerus menghampiriku. Dengan keceriaan dan keteguhan terpancar di wajah mungil itu. Aku semakin yakin semua akan nyata pada akhirnya dan bukan hanya sekedar bayangan parasit. Jawaban dari sederetan pertanyaan menikamku. Aku telah menemukannya. Kini ia memberiku jalan. Untuk aku buka kembali mimpi-mimpi lama: Rumah Baca. Yah, sebuah rumah baca.
***

Tempat memadu mimpi. Harapan baru terpancar di sudut desa ini, sebuah bangunan tua yang telah lama menyimpan sejuta puisi hidup. Begitu rapuh, kiranya tak sanggup menahan beban yang begitu banyak sendiri. Tidak, tidak akan ku biarkan kau sendiri. Ada aku. Yah, tepat di sisimu. Dan bantulah aku untuk slalu bisa menjagamu.
Dunia impian.. Dunia nyata. Mimpi dan Kehidupan.
***

Layaknya sebuah laju kapal. Seperti itulah kehidupan. Semua berlayar demi satu tujuan. Ada langkah yang begitu banyak. Terkadang deburan ombak datang silih berganti. Mengguncang dan menghujam. Tak pula datang keindahan. Membawa aroma manis.
Yah, sudah dua tahun lamanya semenjak terakhir kali bersama anak-anak. Sekarang mereka, tujuh bidadari kecil tumbuh menjadi remaja yang tangguh. Segalanya telah berubah. Kehidupan di desa, anak-anak didikan ku, termasuk diriku dan segala mimpi dan anganku. Sebuah rumah baca telah merubah semuanya. Membuka jendela dunia. Tentang pendidikan, sosial, wawasan dan pengalaman hidup. Kegiatan mengajar, membaca, mengaji, discussion class, telling story, games, dan hiburan. Terasa segalanya mimpi bagiku. Namun nyata hadir di hadapanku. Teringat kata-kata Ibu. “Allah Maha Adil, Nak. Segala yang diciptakan-Nya adalah adil. Ingat janji Allah. Ketika Ia melimpahkan belas kasih-Nya. Ketika Ia memperkenankan keajaiban memenuhi harapan. Ia slalu hadir di jiwa, menciptakan kebesaran pada hamba-Nya.” Dan kini aku merasakannya.
***


 “Shadaqallaahul ‘adziim.”
Sore ini baru saja ku rampungkan belajar mengaji bersama anak-anak. Semburat jingga senja berganti merah megah awan. Menandakan kelabu petang menjemput. Menyambut maghrib tiba. Ku sandarkan sejenak tubuh ini. Sebelum sempat memejamkan mata. Pandangan ku menangkap sosok yang kukenal. Fairuz, si gadis merah jambu. Menatap untuk waktu yang lama. Tanpa tahu dia berdiri didepan ku.
“hei, sedang melamun yaa. Sore petang begini gak baik loh ngelamun.” serunya.
“oh iya, mbak Fairuz, kenapa, ehm, ada yang bisa saya bantu.” aku kelihatan gugup.
“ndak, gapapa kog.” Fairuz tersenyum kecil.
“hanya ingin mengembalikan buku cerita. Dan ini ada sedikit bingkisan dariku.” Sambil menyodorkan buku yang pernah ku inginkan dulu. Waktu pameran itu.
“kenapa harus dikembalikan? Itu punya mbak Fairuz kan.” tanyaku.
“tak apa. Anggap saja hadiah.” selanya.
“oh iya, ehm, mas Zein, Saya boleh bawa buku yang satu ini. Tadi ku temukan tergeletak di depan sana. Sepertinya bagus. Boleh yaa.”
“dan satu lagi. Kalau boleh jujur. Aku kagum dengan apa yang sudah dilakukan mas Zein, semuanya. Bahkan tak terpikir sedikit pun olehku. Sebuah rumah baca ini menjadi saksi kunci. Sungguh hal yang luar biasa.”
Aku mengangguk. Sedikit menunduk. Tak mampu berkata. Terasa semua tercekat. Entah apa itu. Yang ku tahu benih cinta tertanam kuat di hati ini. Semakin tumbuh mekar tatkala Ia berada didekat sana slalu menyiraminya. Wajah teduhnya, paras senyumnya. Segalanya. Terdengar sayup-sayup lantunan adzan memecahkan keheningan. Mendayu merdu. 
Laa haula wa laa quwwata illaa billahi ‘aliyyil ‘adziim.
***

Sungguh, bagaimana aku menepis kembali bayangan itu. Setiap detik berdetak, taburan cinta mengikuti semua senyuman. Rasa cinta ini tak bisa ungkapkan. Berharap sambutan cintamu. Akankah kau tahu itu?
“terkadang tak perlu terungkap lewat kata-kata. Cukup dalam hati. Cinta hamba pada Tuhannya pun demikian.” sahutnya. Fairuz menanggapi buku yang ia baca.
“tindakan sebagai wujud nyatanya.” tambah ku.
“dan Aku tak tahu. Tindakan apa yang harus ku tunjukkan untuk mu.” Aku menatapnya. Fairuz membalas menatapku. Mengerjapkan mata. Seakan Fairuz tahu apa maksudku. Dia menunduk. Tertegun. Menghela napas. Hening.
“tak perlu diucapkan, cukup dipahami.” sahut kami berbarengan.
Kami saling terkejut, tersenyum kecil menyembunyikan tawa. Lucu memang. Terkadang pikiran kami sama. Segalanya sama. Namun tak ubahnya kami berbeda.
“aku tahu cinta itu. Tapi, boleh Aku minta satu hal darimu.” kembali Ia melanjutkan. Dengan tatapan serius.
“apa itu?” tanya ku.
“aku ingin kau menjaga rumah baca, anak-anak untuk desa ini. Mendampingi sampai mereka berhasil. Dan satu permintaanku. Bisakah kau hafalkan untukku, tiga surat Al-quran pilihan ini. Surat Yaa siin, Ar-Rahmaan, dan Al-Waaqi’ah.”
Ia menatapku. Menunggu jawaban dariku.
“aku yakin kau pasti bisa. Dan berusaha untukku.” lanjutnya.
Tatapan mata nya menembus relung hatiku. Tak pernah aku menatap nya selama ini. Demi menyakinkannya. Aku mengangguk.
“setelah kau yakin semuanya. Dan bisa penuhi permintaan itu. Kau boleh datang ke rumah ku. Akan aku perkenalkan dengan orang tuaku.” sambutnya.
Mendengar kata-kata itu. Tak sanggup aku menahan getaran kuat dalam hati. Cahaya cinta.
Mampukah ku gapai impian ini bersama?
***

Hari berganti hari. Sudah sebulan aku tak menemuinya. Fairuz Zakiyah. Sejak bersamanya saat Ia memberikan permintaan padaku dulu. Seperti permintaan terakhirnya. Ia tak pernah muncul kembali. Aku tak tahu kemana. Tak ada yang tahu. Ingin aku mendatangi rumahnya. Untuk menanyakan dan memastikan Ia baik-baik saja. Terlintas dalam benak ini, janji yang pernah ku tulis dulu.  Aku takkan datang sebelum berhasil membawa impiannya bersamaku. Hanya bisa menunggu waktu. Semua akan baik-baik saja.
***

Bagaimanapun pikiran ini seolah mengganggu. Sekian lama. Tiga bulan tak ada kabar apapun. Membuatku keluh. Untuk saat ini aku perlu menemuinya. Tak peduli, aku sudah memenuhi permintaanya, meskipun belum, setidaknya aku sudah berusaha. Tiga surat: Yaa siin, Ar-Rahmaan, dan Al-Waaqi’ah, sudah ku hafal. Anak-anak sudah mulai dewasa belajar mengajarkan pada anak yang lain. Dan kali ini, cukup untukku menunggu. Tak tahu bagaimana  perasaanku. Terus melangkah. Tanpa tahu aku lelah dan putus asa dengan semua ini. Tubuh ku mendadak lemas. Ketika kudapati tak ada seorang pun disana. Kosong. Hanya secarik kertas yang kutemukan terselip di dahan pintu yang penuh debu. Perlahan ku buka: untuk sang penakluk, terus perjuangkan yang ada. Maaf dan terima kasih atas semuanya.
Hanya itu. Yah, hanya sekelumit kata. Tak ada yang tersisa. Semua menghilang. Pergi entah kemana. Sepi dan gelap. Sebatas puing puisi membisu...

Warna seperti menghilang di kota ini
Hitam dan putih masa lalu
Telah membisu
Semua berakhir disini
Tempatku mulai bermimpi
Masih menari disini
Langkahmu yang telah pergi
Udara ini berubah di kota mati
Seperti kisah masa lalu
Kini membisu
Coba dengarku berbisik
Suara yang telah menghilang
Hatiku mati disini
Terdiam dan tak mengerti
Masih bertahan sisa mimpi-mimpi ku di kota ini
Kini bertahan sisa mimpi-mimpi ku di kota ini
( lirik lagu peterpan )


THE END

CERPEN LAZISMU KANTOR LAYANAN UMBULHARJO
Alamat : Gedung Dakwah PCM Umbulharjo, Jl. Glagahsari 136 Umbulharjo Yogyakarta
(0274)380041 / 08995051540
www.lazismuupzuh.com
www.facebook.com/profile.php?id=100011430304303