Assalamualaikum..
Mumpung masih pagi baca kumpulan cerpen dari LAZISMU kuuuy...
PENAKLUK KOTA MATI
Karya : Erna Kurniawati
Email : kurnia.erna25@gmail.com
Pemuda yang cerdas, unik,
dan bersahaja. Hidup berkreasi dengan anak-anak kecil yang tak seusianya, membawa ia dalam
pengembaraan panjang, terlempar oleh dimensi waktu. Bersama mereka, ia banyak
menemukan hal yang tau entah apa. Mengusik hati kecilnya. Terpekur dan terdiam
beberapa saat lamanya, ketika ia dikejutkan kala waktu itu oleh anak yang
bernama Vei. “kak Zein, Aku ingin bisa
terbang mengecup awan putih di atas sana. Menari dan menghiasi warna langit.”
Sontak membuatku terkejut dan sedikit memicingkan mata. Aku tak tau apa yang
ada dalam benak pikirannya. Yang aku tau hanyalah celotehan anak kecil. Sempat
tak ku hiraukan. Namun selang beberapa hari, tak kusangka kata-kata itu masih
terus mengiang, memenuhi kepalaku, sampai saat ini. Membuatku bingung.
***
“zein, sepulang dari pekarangan Pak Dede. Tolong kau antar orderan
baju-baju ini ke tetangga sebelah, yah.
Tertera namanya dalam kertas kecil. Ibu sore ini mau mengantar bapakmu ke rumah
Ibu Sukma untuk diperiksa.” seru Ibu.
Aku hanya mengangguk. Kata-kata Ibu seolah mengembalikan jiwaku dari buaian
angan.
Seperti biasa mentari pagi
memaksa mengayunkan langkah kaki ini, dibawah terik matahari panas, hujan,
seolah kebal dan menjadi rutinitas kala demi tanggung jawab keluarga. Bersimpuh
diri menyambut senja. Setelah sekian hari membantu Pak Dede memetik hasil panen
jeruk, merawat cabe rawit dan jagung di pekarangannya. Kami duduk terdiam
melepas penat. Tiba-tiba beliau berucap, “sudah lama aku tekuni pekerjaan ini.
Dan berharap ada perubahan pada desa Andana. Mereka yang berpendidikan tinggi,
sarjana, dan menjadi guru.” Aku termenung. Kembali beliau melanjutkan
perkataannya.
“ada secercah dalam
dirimu, Nak. Pemuda tangguh. Semangat mu tinggi. Bapak bisa mengerti dari
kilatan matamu.”
“apakah semua terlihat
seperti itu ?” tanyaku lirih.
“terkadang aku tak
mengerti apa yang dimaksud dengan semua yang ditujukan padaku. Segala
sesuatunya. Tanpa peduli apa penyebabnya, terus mempertanyakan dan berusaha
menghibur diri dengan menyalahkan keadaan yang ada.”
“dan menurut Bapak,
bagaimana mestinya. Apa yang harus dilakukan?” kembali aku mempertanyakan.
Tanpa tau aku sedikit
menanti jawaban darinya. Tapi tak kutemukan. Hanya hening. Sedikit bergeming.
Dia berdiri dan melangkah pergi. Terselip di tanganku tulisan yang entah apa
tak terbaca. Tapi aku tau itu. Samar-samar kubaca: Tanyakan pada dirimu.
Sesuatu hal yang ku percayakan padamu.
***
Tak bisa ku mengerti. Apa
maksud dari ucapan nya. Meski berusaha menghirup kata-kata dengan menyadapkan
makna. Masa bodoh dengan semua itu. Lelah aku memikirkannya. Mencoba abaikan,
tapi tak bisa. Semua membisu. Hanya terdengar bisikan angin malam. Di bawah
teduh purnama. Cahayanya menyoroti wajah kami yang tengah asyik bercengkerama.
Di temani tujuh bidadari-bidadari kecil. Mereka adalah Vei, Ryn, Tarra, Ayse,
Huril In & Huril Ein dan Khan. Bidadari-bidadari kecil ini sedang
mendengarkan cerita-cerita konyolku. Sesekali terdengar riuh tawa renyah
mereka. Dan tiba giliran satu dari mereka bercerita. Seseorang mengangkat tangan
bersamaan, Ryn dan Tarra.
“hmm, baiklah akan Kak
Zein tunjuk salah satu dari kalian, yah.
Ryn coba ceritakan. Apa ceritamu.”
“oke Kak, Ryn akan cerita
tentang seorang mahkota kerajaan yang sedang mencari sosok pendamping istana.”
Ryn mencoba mengungkapkan
tokoh cerita mahkota kerajaan dengan segala tingkah laku menggemaskan, mata
lebarnya sedikit berkelok kekanan dan kiri. Bibir mungilnya berkerut-kerut.
Sesekali meringis melihatkan gigi putihnya.
“cerita yang bagus, Putri
mahkota kecil.” ucapku sembari memberi tepuk tangan dan sedikit mencubit rona
merah pipinya.
Ryn tersenyum simpul.
Tarra agaknya kecewa dan berkecil hati belum mendapat kesempatan bercerita. Aku
langsung menghampirinya dan memberinya sedikit hiburan. Kulihat Vei tengah asyik
berimajinasi seolah menggambar sesuatu yang ada di sekelilingnya.Tanpa tahu apa
itu. Ayse dan dua kembar srikandi, Huril In & Huril Ein sedang tenggelam
bersama cerita dan obrolan mereka. Dan untuk yang satu ini, Khan, seolah tak
peduli dengan semua itu. Ia asyik dengan dunianya sendiri.
***
Pagi ini aku pergi ke
tempat pameran buku. Disana buku terjual murah. Karena libur, aku sempatkan
waktu luang untuk pergi kesana. Yah, aku ingin memberikan kejutan hadiah untuk
tujuh bidadari kecilku. Mereka yang bernasib sama denganku. Tapi kini aku punya
mereka, dan mereka pun menganggap hal yang sama.
Tiba disana kulihat
lalu-lalang orang berjejalan mengerumuni. Belum terlalu ramai sepertinya. Aku
berjalan ke tempat jualan buku anak-anak. Seorang perempuan berhijab
menghampiri. Terlihat anggun dengan balutan gamis merah jambu. Dengan membawa
buku di pangkuan tangannya. Aku berdiri tepat di sampingnya. Dia tengah sibuk
memilih buku. Begitu juga denganku. Sampai pada satu titik pandangan yang sama
tertuju pada satu buku. Ku raih buku itu, begitu juga dia. Tak sengaja
jari-jemari kami bersentuhan.
“maaf,” ucap kami
berbarengan. Saling menunduk.
“ehm, Mbak menginginkan
buku itu, boleh itu untuk Mbak saja. Saya bisa cari yang lain. Sepertinya
disana ada.” kataku sedikit gugup.
“iya makasih.” ucapnya
lirih sembari tersenyum. Sedikit melirikku.
Sebentar menoleh. Tanganku
menampil tumpukan buku. Jatuh
berserakan.
“ah, maaf sudah
merepotkan.” ucapku. Ia turut membantu.
“tak apa. Sama seperti
yang Mas lakukan barusan. Saya senang. Sekali lagi terima kasih.” Sambil
menunjukkan buku yang dipegangnya. Kemudian melangkah pergi. Berhambur bersama
kerumunan orang. Dan aku masih duduk terpaku, memandang sekelibatan kerudung
gadis itu oleh terpaan angin. Sekejap mata lalu seketika menghilang dari
pandangan ku. Fairuz, nama gadis itu. Mahasiswi D1 Studi Islam Paramadina. Aku
tahu dari kartu nama yang tak sengaja ia jatuhkan.
***
Tersenyum menatap wajahnya
dalam angan. Nyata jelas terlihat. Di tangan ku tergenggam sepucuk kartu nama,
perlahan aku baca, Fairuz Zakiyah. Suaranya terdengar lembut berbisik di
telinga ku. Nyaring. Melengking. Seru sorak anak-anak sedikit membuyarkan
lamunanku.
“waah..waah.. bukunya
banyak sekali. Bagus-bagus ini, Kak Zein. Lihat! Lucu ada gambarnya.” seru Ayse.
“ini untuk kami semua,
Kak.” tanya Vei.
Aku tersenyum. Melihat
kegirangan mereka. Sepintas teringat impianku yang telah lama pudar. Seberkas
bayangan yang terus menerus menghampiriku. Dengan keceriaan dan keteguhan
terpancar di wajah mungil itu. Aku semakin yakin semua akan nyata pada akhirnya
dan bukan hanya sekedar bayangan parasit. Jawaban dari sederetan pertanyaan
menikamku. Aku telah menemukannya. Kini ia memberiku jalan. Untuk aku buka
kembali mimpi-mimpi lama: Rumah Baca. Yah, sebuah rumah baca.
***
Tempat memadu mimpi.
Harapan baru terpancar di sudut desa ini, sebuah bangunan tua yang telah lama
menyimpan sejuta puisi hidup. Begitu rapuh, kiranya tak sanggup menahan beban
yang begitu banyak sendiri. Tidak, tidak akan ku biarkan kau sendiri. Ada aku.
Yah, tepat di sisimu. Dan bantulah aku untuk slalu bisa menjagamu.
Dunia impian.. Dunia
nyata. Mimpi dan Kehidupan.
***
Layaknya sebuah laju
kapal. Seperti itulah kehidupan. Semua berlayar demi satu tujuan. Ada langkah
yang begitu banyak. Terkadang deburan ombak datang silih berganti. Mengguncang
dan menghujam. Tak pula datang keindahan. Membawa aroma manis.
Yah, sudah dua tahun
lamanya semenjak terakhir kali bersama anak-anak. Sekarang mereka, tujuh
bidadari kecil tumbuh menjadi remaja yang tangguh. Segalanya telah berubah.
Kehidupan di desa, anak-anak didikan ku, termasuk diriku dan segala mimpi dan
anganku. Sebuah rumah baca telah merubah semuanya. Membuka jendela dunia.
Tentang pendidikan, sosial, wawasan dan pengalaman hidup. Kegiatan mengajar,
membaca, mengaji, discussion class, telling story, games, dan hiburan.
Terasa segalanya mimpi bagiku. Namun nyata hadir di hadapanku. Teringat
kata-kata Ibu. “Allah Maha Adil, Nak. Segala yang diciptakan-Nya adalah adil.
Ingat janji Allah. Ketika Ia melimpahkan belas kasih-Nya. Ketika Ia
memperkenankan keajaiban memenuhi harapan. Ia slalu hadir di jiwa, menciptakan
kebesaran pada hamba-Nya.” Dan kini aku merasakannya.
***
“Shadaqallaahul ‘adziim.”
Sore ini baru saja ku
rampungkan belajar mengaji bersama anak-anak. Semburat jingga senja berganti
merah megah awan. Menandakan kelabu petang menjemput. Menyambut maghrib tiba.
Ku sandarkan sejenak tubuh ini. Sebelum sempat memejamkan mata. Pandangan ku
menangkap sosok yang kukenal. Fairuz, si gadis merah jambu. Menatap untuk waktu
yang lama. Tanpa tahu dia berdiri didepan ku.
“hei, sedang melamun yaa.
Sore petang begini gak baik loh ngelamun.” serunya.
“oh iya, mbak Fairuz,
kenapa, ehm, ada yang bisa saya bantu.” aku kelihatan gugup.
“ndak, gapapa kog.” Fairuz
tersenyum kecil.
“hanya ingin mengembalikan
buku cerita. Dan ini ada sedikit bingkisan dariku.” Sambil menyodorkan buku
yang pernah ku inginkan dulu. Waktu pameran itu.
“kenapa harus
dikembalikan? Itu punya mbak Fairuz kan.” tanyaku.
“tak apa. Anggap saja
hadiah.” selanya.
“oh iya, ehm, mas Zein,
Saya boleh bawa buku yang satu ini. Tadi ku temukan tergeletak di depan sana.
Sepertinya bagus. Boleh yaa.”
“dan satu lagi. Kalau
boleh jujur. Aku kagum dengan apa yang sudah dilakukan mas Zein, semuanya.
Bahkan tak terpikir sedikit pun olehku. Sebuah rumah baca ini menjadi saksi
kunci. Sungguh hal yang luar biasa.”
Aku mengangguk. Sedikit
menunduk. Tak mampu berkata. Terasa semua tercekat. Entah apa itu. Yang ku tahu
benih cinta tertanam kuat di hati ini. Semakin tumbuh mekar tatkala Ia berada
didekat sana slalu menyiraminya. Wajah teduhnya, paras senyumnya. Segalanya.
Terdengar sayup-sayup lantunan adzan memecahkan keheningan. Mendayu merdu.
Laa haula wa laa quwwata
illaa billahi ‘aliyyil ‘adziim.
***
Sungguh, bagaimana aku
menepis kembali bayangan itu. Setiap detik berdetak, taburan cinta mengikuti
semua senyuman. Rasa cinta ini tak bisa ungkapkan. Berharap sambutan cintamu.
Akankah kau tahu itu?
“terkadang tak perlu
terungkap lewat kata-kata. Cukup dalam hati. Cinta hamba pada Tuhannya pun
demikian.” sahutnya. Fairuz menanggapi buku yang ia baca.
“tindakan sebagai wujud
nyatanya.” tambah ku.
“dan Aku tak tahu.
Tindakan apa yang harus ku tunjukkan untuk mu.” Aku menatapnya. Fairuz membalas
menatapku. Mengerjapkan mata. Seakan Fairuz tahu apa maksudku. Dia menunduk.
Tertegun. Menghela napas. Hening.
“tak perlu diucapkan,
cukup dipahami.” sahut kami berbarengan.
Kami saling terkejut,
tersenyum kecil menyembunyikan tawa. Lucu memang. Terkadang pikiran kami sama.
Segalanya sama. Namun tak ubahnya kami berbeda.
“aku tahu cinta itu. Tapi,
boleh Aku minta satu hal darimu.” kembali Ia melanjutkan. Dengan tatapan
serius.
“apa itu?” tanya ku.
“aku ingin kau menjaga
rumah baca, anak-anak untuk desa ini. Mendampingi sampai mereka berhasil. Dan
satu permintaanku. Bisakah kau hafalkan untukku, tiga surat Al-quran pilihan
ini. Surat Yaa siin, Ar-Rahmaan, dan Al-Waaqi’ah.”
Ia menatapku. Menunggu
jawaban dariku.
“aku yakin kau pasti bisa.
Dan berusaha untukku.” lanjutnya.
Tatapan mata nya menembus
relung hatiku. Tak pernah aku menatap nya selama ini. Demi menyakinkannya. Aku
mengangguk.
“setelah kau yakin
semuanya. Dan bisa penuhi permintaan itu. Kau boleh datang ke rumah ku. Akan
aku perkenalkan dengan orang tuaku.” sambutnya.
Mendengar kata-kata itu.
Tak sanggup aku menahan getaran kuat dalam hati. Cahaya cinta.
Mampukah ku gapai impian
ini bersama?
***
Hari berganti hari. Sudah
sebulan aku tak menemuinya. Fairuz Zakiyah. Sejak bersamanya saat Ia memberikan
permintaan padaku dulu. Seperti permintaan terakhirnya. Ia tak pernah muncul
kembali. Aku tak tahu kemana. Tak ada yang tahu. Ingin aku mendatangi rumahnya.
Untuk menanyakan dan memastikan Ia baik-baik saja. Terlintas dalam benak ini,
janji yang pernah ku tulis dulu. Aku
takkan datang sebelum berhasil membawa impiannya bersamaku. Hanya bisa menunggu
waktu. Semua akan baik-baik saja.
***
Bagaimanapun pikiran ini
seolah mengganggu. Sekian lama. Tiga bulan tak ada kabar apapun. Membuatku
keluh. Untuk saat ini aku perlu menemuinya. Tak peduli, aku sudah memenuhi
permintaanya, meskipun belum, setidaknya aku sudah berusaha. Tiga surat: Yaa
siin, Ar-Rahmaan, dan Al-Waaqi’ah, sudah ku hafal. Anak-anak sudah mulai
dewasa belajar mengajarkan pada anak yang lain. Dan kali ini, cukup untukku
menunggu. Tak tahu bagaimana perasaanku.
Terus melangkah. Tanpa tahu aku lelah dan putus asa dengan semua ini. Tubuh ku
mendadak lemas. Ketika kudapati tak ada seorang pun disana. Kosong. Hanya
secarik kertas yang kutemukan terselip di dahan pintu yang penuh debu. Perlahan
ku buka: untuk sang penakluk, terus perjuangkan yang ada. Maaf dan terima
kasih atas semuanya.
Hanya itu. Yah, hanya
sekelumit kata. Tak ada yang tersisa. Semua menghilang. Pergi entah kemana.
Sepi dan gelap. Sebatas puing puisi membisu...
Warna seperti menghilang
di kota ini
Hitam dan putih masa lalu
Telah membisu
Semua berakhir disini
Tempatku mulai bermimpi
Masih menari disini
Langkahmu yang telah pergi
Udara ini berubah di kota
mati
Seperti kisah masa lalu
Kini membisu
Coba dengarku berbisik
Suara yang telah
menghilang
Hatiku mati disini
Terdiam dan tak mengerti
Masih bertahan sisa
mimpi-mimpi ku di kota ini
Kini bertahan sisa
mimpi-mimpi ku di kota ini
( lirik lagu peterpan )
THE END
CERPEN LAZISMU KANTOR LAYANAN UMBULHARJO
Alamat : Gedung Dakwah PCM Umbulharjo, Jl. Glagahsari 136 Umbulharjo Yogyakarta
(0274)380041 / 08995051540
www.lazismuupzuh.com
www.facebook.com/profile.php?id=100011430304303
0 komentar:
Posting Komentar