Lazismu kantor layanan Umbulharjo Aksi bersama untuk sesama salurkan Zakat Infaq Sodaqoh anda melalui rekening BNI Syariah 0457274314 a.n Lazismu Kantor Layanan Umbuharjo dan melalui rekening BUKOPIN Syariah 7709002554 a.n A.Rosyid QQ Lazismu KL.UH

Senin, 09 Januari 2017

CERPEN PENAKLUK KOTA MATI

Assalamualaikum..
Mumpung masih pagi baca kumpulan cerpen dari LAZISMU kuuuy...

PENAKLUK KOTA MATI

Karya : Erna Kurniawati
Email : kurnia.erna25@gmail.com



Pemuda yang cerdas, unik, dan bersahaja. Hidup berkreasi dengan anak-anak kecil  yang tak seusianya, membawa ia dalam pengembaraan panjang, terlempar oleh dimensi waktu. Bersama mereka, ia banyak menemukan hal yang tau entah apa. Mengusik hati kecilnya. Terpekur dan terdiam beberapa saat lamanya, ketika ia dikejutkan kala waktu itu oleh anak yang bernama Vei. “kak Zein,  Aku ingin bisa terbang mengecup awan putih di atas sana. Menari dan menghiasi warna langit.” Sontak membuatku terkejut dan sedikit memicingkan mata. Aku tak tau apa yang ada dalam benak pikirannya. Yang aku tau hanyalah celotehan anak kecil. Sempat tak ku hiraukan. Namun selang beberapa hari, tak kusangka kata-kata itu masih terus mengiang, memenuhi kepalaku, sampai saat ini. Membuatku bingung.
                                                                      ***


“zein, sepulang dari pekarangan Pak Dede. Tolong kau antar orderan baju-baju ini  ke tetangga sebelah, yah. Tertera namanya dalam kertas kecil. Ibu sore ini mau mengantar bapakmu ke rumah Ibu Sukma untuk diperiksa.” seru Ibu.
Aku hanya mengangguk. Kata-kata Ibu seolah mengembalikan jiwaku dari buaian angan.
Seperti biasa mentari pagi memaksa mengayunkan langkah kaki ini, dibawah terik matahari panas, hujan, seolah kebal dan menjadi rutinitas kala demi tanggung jawab keluarga. Bersimpuh diri menyambut senja. Setelah sekian hari membantu Pak Dede memetik hasil panen jeruk, merawat cabe rawit dan jagung di pekarangannya. Kami duduk terdiam melepas penat. Tiba-tiba beliau berucap, “sudah lama aku tekuni pekerjaan ini. Dan berharap ada perubahan pada desa Andana. Mereka yang berpendidikan tinggi, sarjana, dan menjadi guru.” Aku termenung. Kembali beliau melanjutkan perkataannya.
“ada secercah dalam dirimu, Nak. Pemuda tangguh. Semangat mu tinggi. Bapak bisa mengerti dari kilatan matamu.”
“apakah semua terlihat seperti itu ?” tanyaku lirih.
“terkadang aku tak mengerti apa yang dimaksud dengan semua yang ditujukan padaku. Segala sesuatunya. Tanpa peduli apa penyebabnya, terus mempertanyakan dan berusaha menghibur diri dengan menyalahkan keadaan yang ada.”
“dan menurut Bapak, bagaimana mestinya. Apa yang harus dilakukan?” kembali aku mempertanyakan.
Tanpa tau aku sedikit menanti jawaban darinya. Tapi tak kutemukan. Hanya hening. Sedikit bergeming. Dia berdiri dan melangkah pergi. Terselip di tanganku tulisan yang entah apa tak terbaca. Tapi aku tau itu. Samar-samar kubaca: Tanyakan pada dirimu. Sesuatu hal yang ku percayakan padamu.
                                                                      ***

Tak bisa ku mengerti. Apa maksud dari ucapan nya. Meski berusaha menghirup kata-kata dengan menyadapkan makna. Masa bodoh dengan semua itu. Lelah aku memikirkannya. Mencoba abaikan, tapi tak bisa. Semua membisu. Hanya terdengar bisikan angin malam. Di bawah teduh purnama. Cahayanya menyoroti wajah kami yang tengah asyik bercengkerama. Di temani tujuh bidadari-bidadari kecil. Mereka adalah Vei, Ryn, Tarra, Ayse, Huril In & Huril Ein dan Khan. Bidadari-bidadari kecil ini sedang mendengarkan cerita-cerita konyolku. Sesekali terdengar riuh tawa renyah mereka. Dan tiba giliran satu dari mereka bercerita. Seseorang mengangkat tangan bersamaan, Ryn dan Tarra.
“hmm, baiklah akan Kak Zein  tunjuk salah satu dari kalian, yah. Ryn coba ceritakan. Apa ceritamu.”
“oke Kak, Ryn akan cerita tentang seorang mahkota kerajaan yang sedang mencari sosok pendamping istana.”
Ryn mencoba mengungkapkan tokoh cerita mahkota kerajaan dengan segala tingkah laku menggemaskan, mata lebarnya sedikit berkelok kekanan dan kiri. Bibir mungilnya berkerut-kerut. Sesekali meringis melihatkan gigi putihnya.
“cerita yang bagus, Putri mahkota kecil.” ucapku sembari memberi tepuk tangan dan sedikit mencubit rona merah pipinya.
Ryn tersenyum simpul. Tarra agaknya kecewa dan berkecil hati belum mendapat kesempatan bercerita. Aku langsung menghampirinya dan memberinya sedikit hiburan. Kulihat Vei tengah asyik berimajinasi seolah menggambar sesuatu yang ada di sekelilingnya.Tanpa tahu apa itu. Ayse dan dua kembar srikandi, Huril In & Huril Ein sedang tenggelam bersama cerita dan obrolan mereka. Dan untuk yang satu ini, Khan, seolah tak peduli dengan semua itu. Ia asyik dengan dunianya sendiri.
***

Pagi ini aku pergi ke tempat pameran buku. Disana buku terjual murah. Karena libur, aku sempatkan waktu luang untuk pergi kesana. Yah, aku ingin memberikan kejutan hadiah untuk tujuh bidadari kecilku. Mereka yang bernasib sama denganku. Tapi kini aku punya mereka, dan mereka pun menganggap hal yang sama.
Tiba disana kulihat lalu-lalang orang berjejalan mengerumuni. Belum terlalu ramai sepertinya. Aku berjalan ke tempat jualan buku anak-anak. Seorang perempuan berhijab menghampiri. Terlihat anggun dengan balutan gamis merah jambu. Dengan membawa buku di pangkuan tangannya. Aku berdiri tepat di sampingnya. Dia tengah sibuk memilih buku. Begitu juga denganku. Sampai pada satu titik pandangan yang sama tertuju pada satu buku. Ku raih buku itu, begitu juga dia. Tak sengaja jari-jemari kami bersentuhan.
“maaf,” ucap kami berbarengan. Saling menunduk.
“ehm, Mbak menginginkan buku itu, boleh itu untuk Mbak saja. Saya bisa cari yang lain. Sepertinya disana ada.” kataku sedikit gugup.
“iya makasih.” ucapnya lirih sembari tersenyum. Sedikit melirikku.
Sebentar menoleh. Tanganku menampil tumpukan buku. Jatuh  berserakan.
“ah, maaf sudah merepotkan.” ucapku. Ia turut membantu.
“tak apa. Sama seperti yang Mas lakukan barusan. Saya senang. Sekali lagi terima kasih.” Sambil menunjukkan buku yang dipegangnya. Kemudian melangkah pergi. Berhambur bersama kerumunan orang. Dan aku masih duduk terpaku, memandang sekelibatan kerudung gadis itu oleh terpaan angin. Sekejap mata lalu seketika menghilang dari pandangan ku. Fairuz, nama gadis itu. Mahasiswi D1 Studi Islam Paramadina. Aku tahu dari kartu nama yang tak sengaja ia jatuhkan.
***

Tersenyum menatap wajahnya dalam angan. Nyata jelas terlihat. Di tangan ku tergenggam sepucuk kartu nama, perlahan aku baca, Fairuz Zakiyah. Suaranya terdengar lembut berbisik di telinga ku. Nyaring. Melengking. Seru sorak anak-anak sedikit membuyarkan lamunanku.
“waah..waah.. bukunya banyak sekali. Bagus-bagus ini, Kak Zein. Lihat! Lucu ada gambarnya.” seru Ayse.
“ini untuk kami semua, Kak.” tanya Vei.
Aku tersenyum. Melihat kegirangan mereka. Sepintas teringat impianku yang telah lama pudar. Seberkas bayangan yang terus menerus menghampiriku. Dengan keceriaan dan keteguhan terpancar di wajah mungil itu. Aku semakin yakin semua akan nyata pada akhirnya dan bukan hanya sekedar bayangan parasit. Jawaban dari sederetan pertanyaan menikamku. Aku telah menemukannya. Kini ia memberiku jalan. Untuk aku buka kembali mimpi-mimpi lama: Rumah Baca. Yah, sebuah rumah baca.
***

Tempat memadu mimpi. Harapan baru terpancar di sudut desa ini, sebuah bangunan tua yang telah lama menyimpan sejuta puisi hidup. Begitu rapuh, kiranya tak sanggup menahan beban yang begitu banyak sendiri. Tidak, tidak akan ku biarkan kau sendiri. Ada aku. Yah, tepat di sisimu. Dan bantulah aku untuk slalu bisa menjagamu.
Dunia impian.. Dunia nyata. Mimpi dan Kehidupan.
***

Layaknya sebuah laju kapal. Seperti itulah kehidupan. Semua berlayar demi satu tujuan. Ada langkah yang begitu banyak. Terkadang deburan ombak datang silih berganti. Mengguncang dan menghujam. Tak pula datang keindahan. Membawa aroma manis.
Yah, sudah dua tahun lamanya semenjak terakhir kali bersama anak-anak. Sekarang mereka, tujuh bidadari kecil tumbuh menjadi remaja yang tangguh. Segalanya telah berubah. Kehidupan di desa, anak-anak didikan ku, termasuk diriku dan segala mimpi dan anganku. Sebuah rumah baca telah merubah semuanya. Membuka jendela dunia. Tentang pendidikan, sosial, wawasan dan pengalaman hidup. Kegiatan mengajar, membaca, mengaji, discussion class, telling story, games, dan hiburan. Terasa segalanya mimpi bagiku. Namun nyata hadir di hadapanku. Teringat kata-kata Ibu. “Allah Maha Adil, Nak. Segala yang diciptakan-Nya adalah adil. Ingat janji Allah. Ketika Ia melimpahkan belas kasih-Nya. Ketika Ia memperkenankan keajaiban memenuhi harapan. Ia slalu hadir di jiwa, menciptakan kebesaran pada hamba-Nya.” Dan kini aku merasakannya.
***


 “Shadaqallaahul ‘adziim.”
Sore ini baru saja ku rampungkan belajar mengaji bersama anak-anak. Semburat jingga senja berganti merah megah awan. Menandakan kelabu petang menjemput. Menyambut maghrib tiba. Ku sandarkan sejenak tubuh ini. Sebelum sempat memejamkan mata. Pandangan ku menangkap sosok yang kukenal. Fairuz, si gadis merah jambu. Menatap untuk waktu yang lama. Tanpa tahu dia berdiri didepan ku.
“hei, sedang melamun yaa. Sore petang begini gak baik loh ngelamun.” serunya.
“oh iya, mbak Fairuz, kenapa, ehm, ada yang bisa saya bantu.” aku kelihatan gugup.
“ndak, gapapa kog.” Fairuz tersenyum kecil.
“hanya ingin mengembalikan buku cerita. Dan ini ada sedikit bingkisan dariku.” Sambil menyodorkan buku yang pernah ku inginkan dulu. Waktu pameran itu.
“kenapa harus dikembalikan? Itu punya mbak Fairuz kan.” tanyaku.
“tak apa. Anggap saja hadiah.” selanya.
“oh iya, ehm, mas Zein, Saya boleh bawa buku yang satu ini. Tadi ku temukan tergeletak di depan sana. Sepertinya bagus. Boleh yaa.”
“dan satu lagi. Kalau boleh jujur. Aku kagum dengan apa yang sudah dilakukan mas Zein, semuanya. Bahkan tak terpikir sedikit pun olehku. Sebuah rumah baca ini menjadi saksi kunci. Sungguh hal yang luar biasa.”
Aku mengangguk. Sedikit menunduk. Tak mampu berkata. Terasa semua tercekat. Entah apa itu. Yang ku tahu benih cinta tertanam kuat di hati ini. Semakin tumbuh mekar tatkala Ia berada didekat sana slalu menyiraminya. Wajah teduhnya, paras senyumnya. Segalanya. Terdengar sayup-sayup lantunan adzan memecahkan keheningan. Mendayu merdu. 
Laa haula wa laa quwwata illaa billahi ‘aliyyil ‘adziim.
***

Sungguh, bagaimana aku menepis kembali bayangan itu. Setiap detik berdetak, taburan cinta mengikuti semua senyuman. Rasa cinta ini tak bisa ungkapkan. Berharap sambutan cintamu. Akankah kau tahu itu?
“terkadang tak perlu terungkap lewat kata-kata. Cukup dalam hati. Cinta hamba pada Tuhannya pun demikian.” sahutnya. Fairuz menanggapi buku yang ia baca.
“tindakan sebagai wujud nyatanya.” tambah ku.
“dan Aku tak tahu. Tindakan apa yang harus ku tunjukkan untuk mu.” Aku menatapnya. Fairuz membalas menatapku. Mengerjapkan mata. Seakan Fairuz tahu apa maksudku. Dia menunduk. Tertegun. Menghela napas. Hening.
“tak perlu diucapkan, cukup dipahami.” sahut kami berbarengan.
Kami saling terkejut, tersenyum kecil menyembunyikan tawa. Lucu memang. Terkadang pikiran kami sama. Segalanya sama. Namun tak ubahnya kami berbeda.
“aku tahu cinta itu. Tapi, boleh Aku minta satu hal darimu.” kembali Ia melanjutkan. Dengan tatapan serius.
“apa itu?” tanya ku.
“aku ingin kau menjaga rumah baca, anak-anak untuk desa ini. Mendampingi sampai mereka berhasil. Dan satu permintaanku. Bisakah kau hafalkan untukku, tiga surat Al-quran pilihan ini. Surat Yaa siin, Ar-Rahmaan, dan Al-Waaqi’ah.”
Ia menatapku. Menunggu jawaban dariku.
“aku yakin kau pasti bisa. Dan berusaha untukku.” lanjutnya.
Tatapan mata nya menembus relung hatiku. Tak pernah aku menatap nya selama ini. Demi menyakinkannya. Aku mengangguk.
“setelah kau yakin semuanya. Dan bisa penuhi permintaan itu. Kau boleh datang ke rumah ku. Akan aku perkenalkan dengan orang tuaku.” sambutnya.
Mendengar kata-kata itu. Tak sanggup aku menahan getaran kuat dalam hati. Cahaya cinta.
Mampukah ku gapai impian ini bersama?
***

Hari berganti hari. Sudah sebulan aku tak menemuinya. Fairuz Zakiyah. Sejak bersamanya saat Ia memberikan permintaan padaku dulu. Seperti permintaan terakhirnya. Ia tak pernah muncul kembali. Aku tak tahu kemana. Tak ada yang tahu. Ingin aku mendatangi rumahnya. Untuk menanyakan dan memastikan Ia baik-baik saja. Terlintas dalam benak ini, janji yang pernah ku tulis dulu.  Aku takkan datang sebelum berhasil membawa impiannya bersamaku. Hanya bisa menunggu waktu. Semua akan baik-baik saja.
***

Bagaimanapun pikiran ini seolah mengganggu. Sekian lama. Tiga bulan tak ada kabar apapun. Membuatku keluh. Untuk saat ini aku perlu menemuinya. Tak peduli, aku sudah memenuhi permintaanya, meskipun belum, setidaknya aku sudah berusaha. Tiga surat: Yaa siin, Ar-Rahmaan, dan Al-Waaqi’ah, sudah ku hafal. Anak-anak sudah mulai dewasa belajar mengajarkan pada anak yang lain. Dan kali ini, cukup untukku menunggu. Tak tahu bagaimana  perasaanku. Terus melangkah. Tanpa tahu aku lelah dan putus asa dengan semua ini. Tubuh ku mendadak lemas. Ketika kudapati tak ada seorang pun disana. Kosong. Hanya secarik kertas yang kutemukan terselip di dahan pintu yang penuh debu. Perlahan ku buka: untuk sang penakluk, terus perjuangkan yang ada. Maaf dan terima kasih atas semuanya.
Hanya itu. Yah, hanya sekelumit kata. Tak ada yang tersisa. Semua menghilang. Pergi entah kemana. Sepi dan gelap. Sebatas puing puisi membisu...

Warna seperti menghilang di kota ini
Hitam dan putih masa lalu
Telah membisu
Semua berakhir disini
Tempatku mulai bermimpi
Masih menari disini
Langkahmu yang telah pergi
Udara ini berubah di kota mati
Seperti kisah masa lalu
Kini membisu
Coba dengarku berbisik
Suara yang telah menghilang
Hatiku mati disini
Terdiam dan tak mengerti
Masih bertahan sisa mimpi-mimpi ku di kota ini
Kini bertahan sisa mimpi-mimpi ku di kota ini
( lirik lagu peterpan )


THE END

CERPEN LAZISMU KANTOR LAYANAN UMBULHARJO
Alamat : Gedung Dakwah PCM Umbulharjo, Jl. Glagahsari 136 Umbulharjo Yogyakarta
(0274)380041 / 08995051540
www.lazismuupzuh.com
www.facebook.com/profile.php?id=100011430304303


0 komentar:

Posting Komentar