Lazismu kantor layanan Umbulharjo Aksi bersama untuk sesama salurkan Zakat Infaq Sodaqoh anda melalui rekening BNI Syariah 0457274314 a.n Lazismu Kantor Layanan Umbuharjo dan melalui rekening BUKOPIN Syariah 7709002554 a.n A.Rosyid QQ Lazismu KL.UH

Minggu, 22 Januari 2017

CERPEN MERAJUT TALI KASIH ALLAH

Assalamualaikum..
Pagi-pagi enaknya ngapain yaaa?
O iya baca cerpen dari LazisMU ahh, pasti seru nihh..
Ayuuuk temen-temen juga ikut baca yaaa :)

MERAJUT TALI KASIH ALLAH

Oleh : Lutfah Inganah
Email : lut.inganah@gmail.com 


Aku baru saja kembali dari ruang kelas lima, ketika sebuah undangan bersama sebuah kue hantaran kembali di sodorkan kepadaku. Entah sudah ke berapa undangan datang bersama kue hantaran yang datang minggu ini, seakan-akan menyapa lelahku setiap jam istirahat siang. Dengan senyuman pahit, ku terima undangan itu. Itulah Indonesia, desahku dalam angan yang tak sempat ku sampaikan kepada orang-orang di ruangan kerjaku. Setiap musim kawin mereka datang menghantarkan undangan, disusul undangan lahiran, lalu disusul dengan undangan khitanan dan seterusnya. Ku letakkan undangan dengan ukiran indah itu bersama setumpuk undangan lain yang datang dari entah teman sejawat atau wali murid dan bahkan terkadang dari antah berantah, yang pasti mereka suka sekali mencatut namaku meskipun tak perlu mengenalku terlebih dahulu.

Aku duduk sambil menyeruput segelas teh manis yang sudah kehilangan kehangatannya. Dan mendorong kue brownies dengan toping berbagai warna dalam kotak itu jauh-jauh dari pandanganku. Dengan diam-diam aku merogoh dompetku, perlahan membukanya, hingga hanya kudapati selembar uang lima puluh ribuan yang nongol sendirian diantara tumpukan kertas bon-bon dalam ruang sempit dompetku. Aku menatap hampa. Lima puluh ribu? Aku kembali terbawa masuk kedalam ruang sempit angan-anganku. Siapa pun yang berada di posisiku saat ini pasti juga akan berusaha untuk merajut angan. Jujur, hari ini bensin di tangki motorku sudah benar-benar limit, berarti butuh minimal sepuluh ribu untuk mendorong mesin tua itu bekerja lebih baik, belum lagi aku masih membutuhkan untuk membalas beberapa sms dari teman-temanku, karena masa aktif pulsaku sudah kelewat tiga hari lalu, dan masih yang lainnya lagi dan lagi.

Lima puluh ribu. Aku melirik sebuah kalender kecil di ujung mejaku, masih kurang satu setengah bulan sampai gajiku turun. Pikiranku mulai terkacaukan kembali, diam-diam aku menarik pengait laci meja kerjaku. Dan seketika aku terkesiap melihat tumpukan undangan yang seakan-akan menari-nari menampar kekacauan pikiranku saat itu. Aku terduduk lesu. Tak ada harapan. Sebagai seorang guru honorer yang setiap bulannya hanya menerima gaji tiga ratus lima puluh ribu rupiah, dan yang pasti hanya dibayarkan setiap empat bulan sekali, aku harus menggantungkan nasibku pada kemujuran. Berdamai dengan kertas bon setiap bulan, dan terkadang masih harus meminta orang tua untuk mengganjal uang sumbangan.

Belum usai, ketegangan yang ku buat dengan uang lima puluh ribu-ku serta setumpuk kertas undangan di laci mejaku, seorang temanku-sesama guru honorer datang tergopoh-gopoh menemuiku. Bedanya aku belum berkeluarga, lain dengannya. Ia menarik sebuah kursi dari salah satu meja di kantor guru tersebut, matanya mulai memerah, sembab. “Bu... tolongin saya bu, hari ini beras di rumah habis, sedang bapaknya Linda sulit di hubungi, saya sudah bingung, susu Arka juga sudah habis bu...., saya coba nyari ke teman-teman, mereka juga belum bisa nolong saya...” begitu katanya, ia mulai menghiba kepadaku, dengan wajah pengharapan penuh, serta air mata yang sesekali meleleh dan cepat-cepat di usapnya, begitu seterusnya. Ribuan angan yang kurangkai dengan uang lima puluh ribu-ku melebur sudah berganti menjadi perasaan sedih melihat penderitaan yang harus ditanggung teman sendiri. Setelah perceraian dengan suami pertamanya, ia menikahi seorang supir truk. Alangkah buruk nasibnya, laki-laki yang awalnya bersedia memberikan perlindungan hidup dan mati kepadanya, dua bulan yang lalu melarikan diri dengan membawa utang-utangnya akibat kalah dalam perjudian. Hatiku tergetar, merinding mengingat nasibnya, nasib si kecil Arka dan Linda. Dengan kepasrahan yang luar biasa, bismillah Ku serahkan uang terakhir milikku kepadanya.

 “Bu... tapi maaf hanya ini uang terakhir yang saya miliki, jadi saya belum bisa membantu banyak, insyaAllah ada rezeki dari Allah yang pastinya datang dari arah yang tidak terkira, yakin saja bu, Linda dan Arka sudah di jatah rezeki sama Allah” aku berusaha mengurai ketegangan yang terjadi. “Bu.. terimakasih sekali atas pertolongannya kali ini, semoga Allah mengembalikan seribu kali lipat kepada Bu Hanifah....” lanjutnya, tanpa kusadari aku hanya mengangguk sambil mengucap “Amiin...” secara lirih.

Maka siang itu, usai sudah impianku dengan uang lima puluh ribu-ku. Sepanjang jalan pulang, hati, pikiran, serta lisanku terus berkomat-kamit berdoa semoga motorku tidak macet di jalan, karena jarum penunjuk bensin di motorku telah berhenti pada warna merah terang. Akan tetapi, alhamdulillah mungkin atas kehendak Allah, nyatanya aku masih mampu sampai ke pekarangan rumahku dengan selamat.

Aku baru saja mau menyendok makan siangku, ketika pintu rumahku di ketuk seseorang. Ku letakkan kembali nasi bersama kawan-kawannya, yang jujur sudah menggoda perut kosongku. Aku berjalan gontai menuju pintu kayu yang berjarak empat meter dari ruang tengah. Dan seketika terbersit pikiran buruk di benakku. Undangan siapa lagi? Ya kalimat itu yang pertamakali muncul dalam anganku. Dan puluhan kalimat lain yang datang bersamaan dengan pertanyaan itu adalah bagaimana aku harus menghadiri undangan, bahkan satu perak pun aku tak punya.

 Klek.... ketika pintu kayu itu terbuka, seketika aku berdiri mematung dengan mata sedikit melotot. “Hanifah.....” seru seorang perempuan gemuk, dengan dua orang anak yang masih berusia dua-tiga tahunan, membentangkan tangannya kearahaku. Ya dia adalah kawan SMP ku. Setidaknya gugur sudah anganku tentang undangan. Karena yang datang adalah kawan lamaku dengan maksud dan tujuan yang tak kuketahui.

Setelah begitu lama mengobrol ngalor ngidul, menanyakan kabar, menceritakan karir dan sebagainya maka masuklah ke dalam pembicaraan inti.

“Nif... masih ingat nggak waktu kita SMP aku sering banget nyusahin kamu, entah dengan PR, entah dengan tugas dan sebagainya, inget kan....” ia memulai pembicaraannya lagi di ikuti senyum yang berkali-kali mengembang, membuatku mengingat kelakuan anehnya yang enggak pernah mau mengerjakan tugas waktu SMP dulu. “Nah.... untuk menyambung tali silaturahmi sekaligus sebagai tanda terimakasihku, karena kamu udah menyelamatkan hidupku selama bertahun-tahun ini ehmmm...” dia tak melanjutkan kalimatnya. Dua gadisnya yang manis itu tersenyum kearahku, yang entah paham atau tidak dengan pembicaraan kami. Tapi dua gadis kecil itu sungguh-sungguh telah mengalihkan perhatianku. Aku mengangkat mereka satu demi satu ke pangkuanku, awalnya menjerit-jerit lalu pasrah dalam dekapanku yang lembut, aku tertawa geli. Dan saat itu pula tiba-tiba Sa’diyah menyodorkan amplop berwarna coklat ke tanganku. “Han... tolong diterima ya, aku hanya bermaksud untuk menyambung persahabatan dan silaturahmi kita, mungkin nggak seberapa, tapi artinya aku ingin kita menjalin komunikasi yang baik seperti waktu SMP dulu...”.

Subhanallah... seakan-akan hujan deras tiba-tiba mengguyur tanah yang kekeringan, yang sudah menganga karena ditinggalkan air. Sejuk dan menenangkan hati. Ribuan kalimat syukur ku ucapkan kepada Allah. Dalam amplop coklat itu, Sa’diyah menyisipkan uang lima ratus ribu rupiah, yang pasti jauh lebih besar dari gaji bulananku. Hari itu aku menyadari, betapa luasnya rezeki Allah, dan aku sadar bahwa Allah tidak pernah mengingkari janjinya. Allah akan menolong umat-Nya, yang mau menolong sesamanya. Ya, itu semua adalah min haitsu la yah ta tsib-Nya Allah, yaitu rezeki yang datang dari arah yang tak terkira-kira. Dan hari itu aku juga belajar mengukir sebuah makna tentang persahabatan, tentang menolong teman yang sedang kekurangan serta tentang hikmah silaturahmi sekaligus. Semoga Allah selalu menyatukan kami dalam ikatan tali kasih-Nya, dalam ukhuwah islamiyah yang sesungguhnya. Aamiin.


Purworejo, 27 April 2016

0 komentar:

Posting Komentar