CERPEN
PERTOLONGAN MELALUI INFAQ
DAN SURAT YASIN
Oleh : Sandra Ayu
Email : sandraayu_hrp@yahoo.com
Sepasang
bola mata teduh yang menyejukkan itu kali ini terlihat sendu, mulai
berkaca-kaca. Lengannya yang tak terlalu kekar menarikku dalam pelukannya, ke
dalam rengkuhan hangat yang menenangkan.
“Maafkan Uda ya Dek yang tak bisa lagi disini
menemanimu.”
Aku melepaskan diri dari pelukannya, memandang setiap
jengkal wajahnya dan berusaha tersenyum.
“Tidak apa-apa Uda. Disana ada tanggung jawab dan
amanah yang harus Uda tunaikan. Kita sama-sama saling mendoakan, insyaAllah ini
termasuk jihad fii sabilillah.”
Dia balas tersenyum, senyum penuh kedukaan. Kecupan di
kening berlanjut salam perpisahan mengakhiri perjumpaan kami. Sampai saat itu
aku masih sanggup untuk tidak mengeluarkan air mata dihadapannya. Barulah saat kendaraan
penjemput yang mengantarnya ke bandara hilang dari pandanganku, dengan segera
kututup pintu dan kujatuhkan badanku di tempat tidur sambil terisak.
Lelaki yang menikahiku satu setengah tahun lalu, kini
harus pergi meninggalkanku dan calon buah hati kami mengemban amanah baru di
sebuah kota yang terkenal dengan sebutan Kota Pelajar. Saat usia kandunganku
menginjak delapan bulan, dia dinyatakan lulus seleksi beasiswa untuk mengikuti program
Magister yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia dengan
universitas tujuan yaitu Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Yogyakarta adalah kota yang telah lama diimpikannya bertahun-tahun
lalu untuk melanjutkan studi setelah menyelesaikan pendidikan Strata 1 pada
Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Tahun lalu dia telah mengikuti seleksi
serupa namun rupaya belum menjadi bagian rezekinya.
Dua minggu menjelang prediksi melahirkan, sebenarnya
jadwal perkuliahannya telah dimulai.
“Biar Uda tunggu saja sampai Adek melahirkan. Dana
kita juga sudah tidak memungkinkan jika Uda harus bolak-balik Padang – Jogja,”
ujarnya.
Memang tabungan kami telah menipis untuk mengurus
tahap awal perkuliahannya. Sejak seleksi pertama sampai pendaftaran ulang,
segala biaya ditanggung terlebih dahulu oleh peserta seleksi. Sementara dana
beasiswa belum diketahui kapan cairnya. Berdasarkan pengalaman tahun
sebelumnya, beasiswa akan dicairkan menjelang akhir semester.
“Semoga saja Allah mempercepat kelahiran anak kita.
Supaya Uda bisa menggendongnya, mengazankan, dan mengiqamahkannya sebelum
keberangkatan. Tak sabar rasanya Uda mendengar tangis jundi kecil kita,” ucapnya
terdengar bahagia. Matanya selalu berbinar-binar jika membicarakan makhluk
mungil yang saat itu aktif menendang-nendang perutku.
Namun, kuasa Allah di atas segala-galanya. Meskipun
telah mendekati hari perkiraan lahir yaitu tepat akhir bulan lalu, belum
terlihat tanda-tanda akan melahirkan. Bahkan telah berlalu pula seminggu dari
jadwal yang ditaksirkan oleh dokter kandungan dan bidan.
Akhirnya, suamiku dengan terpaksa berangkat menuju
kota tujuannya siang ini.
Tangisku mulai mereda saat telepon selulerku berdering
dan tertera nomor Amak. Amak dan Apak akan datang dari kampung untuk menemaniku
menghadapi persalinan.
Keesokan harinya, dengan diantar Apak, aku datang ke
RS. Aisyiyah Sumatera Barat untuk mencek kondisi janinku melalui ultrasonography (USG).
“Kondisi janin dan plasenta sehat, namun air
ketubannya semakin sedikit. Usia kehamilan ibu sudah lewat bulan, yaitu sudah memasuki
usia 42 minggu. Pada kondisi postterm seperti
ini meningkatkan risiko terhadap ibu dan janin jika tidak segera diberi
penanganan, seperti gawat janin bahkan kematian janin,” ujar dokter kandungan
selepas memeriksaku.
“Jadi, Dok…?” tanyaku gemetar
“Ibu harus mulai dirawat sore ini. Saya khawatir
melihat air ketuban yang semakin sedikit akan membahayakan janin,” ujarnya
melanjutkan.
Mendengar kata dirawat, membuatku ketakutan.
“Saya ingin melahirkan normal, Dok. Saya tidak ingin
dioperasi,” lanjutku kalut.
Sang dokter tersenyum.
“Ibu dirawat bukan berarti dioperasi. Posisi janin ini
bagus, sehingga bisa diusahakan agar ibu melahirkan normal. Ibu perlu
diinduksi, proses merangsang kontraksi untuk mempermudah proses persalinan.
Namun, perlu kami jelaskan dari awal bahwa induksi juga tidak lepas dari
berbagai risiko, salah satunya rasa sakit yang jauh lebih berat, stress janin, bahkan
tak jarang proses ini gagal sehingga akhirnya harus dioperasi. Semuanya
tergantung keputusan pasien. Silahkan ibu diskusikan dengan keluarga ibu
terlebih dahulu.”
Di halaman rumah sakit aku langsung menghubungi Uda
Al. Sambil terisak aku ceritakan apa yang terjadi. Saat itu pikiranku sangat
kalut.
“Tenang, Dek. Kalau memang itu cara terbaik, kita
ikuti saja. Jika ternyata cara tersebut banyak risikonya, tidak apa-apa
operasi. Bagi Uda yang penting Adek dan bayi kita selamat,” ucapnya berusaha
menenangkanku.
Mendengar ucapannya membuatku semakin terisak. Aku
sungguh takut mendengar kata operasi sehingga dari awal aku berniat melahirkan
normal. Sudah banyak cerita orang sekitar dan artikel yang kubaca tentang rasa
sakit berkepanjangan setelah operasi caesar.
Akhirnya, setelah berdiskusi dengan Uda Al, Amak, dan
Apak, aku bersedia untuk dilakukan induksi. Sore hari setelah melengkapi
persyaratan administrasi, aku ditempatkan di kamar persalinan. Tepat pukul
19.00 WIB, perawat mulai menyuntikkan induksi ke infus yang terpasang di
punggung telapak tanganku.
Satu jam kemudian, rasa sakit mulai terasa di bagian
perutku. Rasa mulas yang hilang timbul. Perawat masih terus mengontrol
kondisiku dan janin per satu jam sekali.
“Kak, rileks saja ya. Jangan stress. Kalau kakak
stress, bayinya juga ikut stress di dalam. Dari tadi saya pantau detak jantung
bayi tidak normal,” ujar perawat bernama Sonya mengingatkanku.
Hingga subuh datang, berdasarkan pemeriksaan dalam,
ternyata aku baru mengalami pembukaan jalan lahir sepanjang 2 cm meskipun rasa
sakit terus melanda. Waktu terus berjalan, tanpa terasa waktu dhuhur dan ashar
pun telah tiba, namun tetap tidak ada perkembangan terhadap jalan lahir janin
di dalam perutku, yaitu masih tetap 2 cm.
“Jika sampai jam 19.00 WIB nanti tidak ada kemajuan, ibu
harus siap untuk operasi. Jangka waktu induksi hanya 24 jam karena kondisi air
ketuban ibu sudah tidak memungkinkan untuk diperpanjang waktunya. Jika tidak
segera dilakukan tindakan medis tersebut, akan sangat membahayakan janin,”
demikian ujar kepala perawat sesaat selesai memeriksa kondisiku.
“Allah… aku ingin melahirkan normal. Aku tidak ingin
perjuanganku menahan sakit belasan jam ini berakhir di meja operasi,” seruku
dalam hati.
Segera kuraih handphone
dan memanggil nomor Uda Al.
“Uda… hanya tinggal beberapa jam lagi batas waktu
induksi berakhir. Adek kuatkan menahan rasa sakit ini hanya demi bisa
melahirkan secara normal, apakah semuanya akan sia-sia?” isakku tertahan.
“Tidak ada yang sia-sia di mata-Nya, Dek. Perbanyak
istighfar dan shalawat. Bacalah Surat Yasin, InsyaAllah akan dikabulkan apa
yang menjadi hajat kita,” ujar Uda Al dengan suara lembut dan tenang. Aku mulai
terbius dengan ketenangannya.
“Uda disini terus berdoa agar kalian selalu diberi
kekuatan. Allah Maha Tahu yang terbaik buat kita, Dek. Kamu harus percaya itu,
ya,” sambungnya dengan keharuan.
Ya, benar yang disampaikan Uda Al. Sejak mulai masuk ke
rumah sakit, aku yang didera perasaan kalut, takut, dan bermacam fikiran buruk
lainnya, menjadi irasional. Merasa bahwa aku hanya sendirian, tak ada penolong.
“Astagfirullah… astagfirullah…astagfirullah…. Ampuni
hamba, Yaa Allah,” bisikku.
Kemudian aku meminta tolong kepada perawat untuk
memanggilkan Amak yang saat itu berada di luar ruangan.
“Mak, tolong ini diinfaqkan kepada yang berhak dan
membutuhkan. Jika sulit menemukannya di sekitar tempat ini, diinfaqkan saja melalui
mesjid terdekat,” kataku kepada Amak sambil menyerahkan empat lembar uang lima
puluh ribuan.
Setelah berlalunya Amak dari ruangan, aku raih handphone dan kuhidupkan MP3. Kupilih Surat
Yasin di antara kumpulan file di folder musik religi. Kudekatkan suara dari handphone tersebut ke perut sambil
kuusap-usap penuh kasih sayang.
“Sayangku, betapa kami merindukanmu. Ingin segera
menggendong dan menimangmu. Berharap engkau segera hadir di antara kami. Ayo
sayang, berjuanglah untuk bisa keluar secara normal,” bisikku menahan tangis sambil
terus mengelus-elus perut.
“Ya Allah, permudahlah dan janganlah Kau sukarkan,”
kata-kata ini terus aku gumamkan. Pada titik inilah aku merasa begitu lemah di
hadapan-Nya, tak ada apa-apanya.
Memasuki pengulangan pembacaan Surat Yasin yang ke dua
kalinya, aku merasakan rasa sakit yang amat sangat di perutku. Rasa sakit yang
belum pernah kurasakan sebelumnya dan terjadi secara berkelanjutan. Rasa sakit
yang teramat sangat sehingga seolah-olah rontok tulang-tulangku akibat rasa
sakit ini. Rupanya, inilah proses kelahiran janinku. Dokter dan perawat hilir
mudik membantu proses persalinan ini.
Akhirnya, tepat pukul 19.00 WIB untuk pertama kalinya
aku mendengar tangisan bayi mungilku, anugerah terindah dari Sang Khalik. Saat
bayi tersebut didekapkan ke dadaku, tak ada yang terlontar dari mulutku kecuali
ucapan syukur berulang kali. Air mataku tak henti-hentinya menetes melihat
makhluk mungil itu.
Di seberang pulau sana, sepasang bola mata yang teduh
juga ikut berderai air mata bahagia saat kukabarkan atas kelahiran putri
pertamanya. Iqamah segera ia lantunkan sambil kudekatkan handphone ke telinga bidadari kecil kami. Bidadari yang melalui
kehadirannya selalu mengingatkan kami akan kekuasaan Illahi Rabbi.
***