Lazismu kantor layanan Umbulharjo Aksi bersama untuk sesama salurkan Zakat Infaq Sodaqoh anda melalui rekening BNI Syariah 0457274314 a.n Lazismu Kantor Layanan Umbuharjo dan melalui rekening BUKOPIN Syariah 7709002554 a.n A.Rosyid QQ Lazismu KL.UH

Kamis, 18 Mei 2017

CERPEN MESKI TAK BISA HARUM, AKU TETAP INGIN MENJADI BUNGA

Meski Tak Bisa Harum, Aku Tetap Ingin Menjadi Bunga


Oleh  :Siti Kadarini

Ciuman itu masih membekas sampai saat ini, kegelian dipipiku masih terasa oleh sentuhan kumis tebalnya. Dia memelukku erat dan tersenyum bangga padaku ketika aku mendapat piagam penghargaan lomba mewarnai tingkat nasional yang diadakan oleh sekolah Taman Kanak-Kanak ku dulu. Tak kusadari bahwa waktu itu adalah ciuman terakhirnya. Kini aku hanya bisa memandangi fotonya. Sosok Bapak yang sabar, penyayang, kerja keras dan penuh tanggung jawab telah meninggalkan kami, meninggalkanku, meninggalkan Emak dan kelima saudaraku.
“ Bapak berharap kamu kelak akan menjadi bunga keluarga ini.” Sebuah kalimat yang pernah terucap oleh Bapak. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti maksud dari perkataan itu tapi kata-kata itu, kalimat yang selalu Bapak katakan padaku, ya hanya padaku, sungguh kalimat itu sangat membekas di benakku sampai saat ini.
Sejak kecil aku dan kelima saudaraku telah dididik Bapak dan Emak dengan penuh kedisiplinan, kezuhudan pada dunia dan keistiqomahan. Disiplin untuk beribadah sholat dan mengaji, zuhud pada dunia dengan memberi kami uang jajan yang sangat minim dibanding teman-temanku dengan harapan agar kami lebih konsen untuk belajar di sekolah sehingga tidak hanya berpikiran untuk jajan dan menghabiskan uang, namun bagaimana aku bisa konsentrasi belajar sementara perutku keroncongan. Tidak hanya itu, mereka mengajariku keistiqomahan terlebih pada keistiqomahan menu makanan dengan lauk-pauk yang kaya protein nabati yang murah meriah (tahu/tempe), hal-hal inilah yang membuatku semakin sadar betapa sederhananya hidupku, hidup orang tuaku. Dan aku tahu aku memang bukan anak orang kaya. Kadang aku sedikit iri dengan teman-temanku yang mempunyai fasilitas mewah, mempunyai kendaraan pribadi, uang jajan yang selalu lebih, dan tentunya segala kebutuhan hidupnya yang selalu dijamin oleh orang tua mereka.
Sampai akhirnya kesederhanaan hidupku itu berlanjut sampai aku lulus SMA. Ketika Bapakku dipanggil oleh Allah SWT untuk menghadap-Nya, aku semakin merasa kesengsaraan hidup sudah mencapai stadium akhir. Aku seperti kehilangan harapan, Bapakku yang selama ini mendukungku untuk selalu berprestasi di sekolah, dan mencita-citakan diriku agar bisa menjadi bunga.
Ketika aku lulus SMA aku bingung harus dibawa kemana kah masa depanku? Aku menjadi semakin mengerti maksud dari perkataan Bapak, menjadi bunga keluarga berarti menjadi orang yang berarti, seenggaknya aku bisa lebih menonjol dari saudara-saudaraku. Memang benar dari ketiga kakakku tidak ada yang menempuh pendidikan kuliah, mereka hanya sekolah sampai tingkat SMA, bahkan Mbak Eci, kakak keduaku hanya sekolah sampai SMP, lalu dia pergi merantau ke pulau seberang, dia memilih untuk melangsungkan hidupnya dengan bekerja sebagai TKW. Begitu pula dengan kakakku lainnya yang semua perempuan, memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya dengan berbagai alasan ingin langsung kerja saja dapat uang, toh mau lanjut kuliah juga tidak ada biaya. Namun aku tidak mau seperti mereka. Aku harus melakukan perubahan. Aku harus lebih baik dari mereka. Aku ingin lebih sukses dan berprestasi. Sehingga aku bisa menjadi teladan bagi kedua adikku yang saat ini masih duduk di kelas 5 SD dan 3 SMP untuk bisa menjadi lebih sukses lagi. Lalu apa bisa aku meneruskan harapan Bapakku untuk menjadi bunga?
“ Emak ndak punya uang untuk membiayai kuliahmu, Nduk.” Ucap Emak setiap aku meminta izin untuk daftar kuliah.
            Keinginanku untuk kuliah semacam sudah berada di ubun-ubun. Bagaimana tidak? Aku selalu gelisah selama satu tahun terkahir ini setelah kelulusanku. Aku melamar di berbagai lowongan pekerjaan, menjadi karyawan di pabrik, menjadi pelayan di warung makan, bahkan menjadi penjaga toko pun telah aku jalani demi melangsungkan kehidupanku. Sudah berkali-kali aku ganti pekerjaan, namun aku selalu tidak betah. Aku merasa masih ada satu fase dalam hidupku yang harus aku lampaui sebelum aku menginjak dunia kerja, yaitu di bangku kuliah.
“ Dulu waktu bapakmu masih ada, Bapakmu saja tidak berani untuk membiayai kuliah mbakyu-mbakyumu. Apalagi sekarang, Emak dapat uang darimana untuk biaya kuliahmu, Nduk?
“ Tapi aku pengen kuliah Mak, aku pengen jadi sarjana.” rengekku. Berharap Emak akan mengizinkan, dan nanti aku akan mencari kerja sambilan untuk mendapat tambahan uang.
Hatiku bergemuruh. Pikiranku berperang dengan batinku. Aku terus mengemis izin, seakan aku tidak puas dengan alasan yang selalu Emak lontarkan bahwa dia tidak punya uang. Aku mengerti memang Emak tidak punya banyak uang, aku tahu penghsilannya sebagai penjual cendol di pasar tak seberapa. Sampai akhirnya kakak pertamaku, Mbak Eta, mendukung keinginanku itu.
“ Sudahlah Mak, jangan pupuskan harapan Rumi untuk menjadi sarjana, aku akan membantu untuk biaya kuliahnya, percayalah, pasti ada jalan rejeki untuk Emak.” Katanya.
Aku senang mendengarnya, walaupun penghasilan Mbak Eta, kakak pertamaku sebagai buruh pengrajin enceng gondok ini tidak seberapa namun tekadnya untuk membantuku sangat berarti sekali bagiku.
“ Allah itu tidak pernah tidur Mak, selalu ada buah yang manis di setiap tetesan keringat kerja keras kita, itu kan yang selalu Emak ajarkan pada kami.” Ucap Mbak Eta pelan. Emak hanya tertunduk diam, lalu dia mengusap pipinya. Aku melihat ada bekas tetesan air mata yang mengalir lembut. Aku tahu perasaan Emak. Aku tahu betapa perihnya perjuangannya untuk menghidupi keenam anaknya selama ini. Dan betapa beratnya mengabulkan permintaan anak keempatnya ini yang ngebet banget pengen kuliah.
Akhirnya aku diterima di sebuah univesitas ternama di kota ini, dengan bekal satu ekor sapi peninggalan Bapak, Emak menjual harta satu-satunya itu untuk biaya masuk kuliahku. Aku senang sekali, semangatku semakin membuncah untuk menjadi sarjana yang sukses. Segala daya dan upaya aku lakukan untuk mengikuti setiap mata kuliahku. Aku tidak ingin membuat Emak kecewa, apalagi Bapak. Aku tidak pernah sekalipun absen, aku selalu meminjam buku untuk bahan-bahan materi kuliah di perpustakaan karena memang aku tidak punya cukup uang untuk membelinya. Setiap hari aku menyusuri jalan dari rumahku menuju kampusku yang berjarak 30 km dengan sepeda motor tua milik Almarhum Bapakku. Dan Alhamdulillah sejak awal semester 3 aku mendapat beasiswa dari Universitas. Aku sangat bersyukur sekali, itu artinya Emak tidak perlu memikirkan biaya semesteranku. Tapi aku tetap perlu mencari tambahan penghasilan untuk biaya hidupku selama aku menempuh kuliah. Dan menjadi tentor di bimbel adalah pilihan terbaikku untuk mendapat tambahan penghasilan.
***
“Rumiyati, S.Pd dengan predikat Cumlauded.” suara itu menggema di auditorium kampusku. Berbagai rangkaian bunga mendarat di tanganku, ucapan selamat dari teman-teman dan dosen-dosenku berdatangan. Mereka merangkulku penuh bangga. Terlebih wanita yang paling berharga dalam hidupku, Emak.
“Selamat ya nduk, Emak bangga denganmu. Selamat ” Dia memelukku dengan erat. Dan Aku pun begitu. Tak pernah aku merasakan pelukan hangat seperti ini. Kami berpelukan dalam tangis, air matanya mengalir deras membasahi toga ku. Aku tahu perjuangannya cukup berat hidup tanpa suami dan membiayai kehidupan kami berenam. Aku tahu tangis ini adalah tangis bahagia. Bagi Allah, segala sesuatu tidak ada yang tidak mungkin. Berkat doa Emak, Allah memberikan kemudahan studiku hingga akhirnya aku bisa menyelesaikan S-1 ku dalam kurun waktu 3 tahun 3 bulan 11 hari. Serta voucher beasiswa s-2, sebagai penghargaan prestasiku sebagai mahasiswa lulus tercepat tahun ini telah berada di genggamanku. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Bapak, semoga kau dapat melihat dari sana. Aku lakukan semua ini demi Bapak, aku tahu apa yang aku lakukan ini masih belum seberapa, namun seberat apapun, seperih apapun meski tak bisa harum, aku tetap ingin menjadi bunga, menjadi bunga keluarga yang Bapak harapkan dariku.

Selesai-

0 komentar:

Posting Komentar