Meski Tak Bisa Harum, Aku Tetap
Ingin Menjadi Bunga
Oleh :Siti Kadarini
Ciuman
itu masih membekas sampai saat ini, kegelian dipipiku masih terasa oleh sentuhan
kumis tebalnya. Dia memelukku erat dan tersenyum bangga padaku ketika aku
mendapat piagam penghargaan lomba mewarnai tingkat nasional yang diadakan oleh
sekolah Taman Kanak-Kanak ku dulu. Tak kusadari bahwa waktu itu adalah ciuman
terakhirnya. Kini aku hanya bisa memandangi fotonya. Sosok Bapak yang sabar,
penyayang, kerja keras dan penuh tanggung jawab telah meninggalkan kami,
meninggalkanku, meninggalkan Emak dan kelima saudaraku.
“
Bapak berharap kamu kelak akan menjadi bunga keluarga ini.” Sebuah kalimat yang
pernah terucap oleh Bapak. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti
maksud dari perkataan itu tapi kata-kata itu, kalimat yang selalu Bapak katakan
padaku, ya hanya padaku, sungguh kalimat itu sangat membekas di benakku sampai
saat ini.
Sejak
kecil aku dan kelima saudaraku telah dididik Bapak dan Emak dengan penuh
kedisiplinan, kezuhudan pada dunia dan keistiqomahan. Disiplin untuk beribadah
sholat dan mengaji, zuhud pada dunia dengan memberi kami uang jajan yang sangat
minim dibanding teman-temanku dengan harapan agar kami lebih konsen untuk
belajar di sekolah sehingga tidak hanya berpikiran untuk jajan dan menghabiskan
uang, namun bagaimana aku bisa konsentrasi belajar sementara perutku keroncongan.
Tidak hanya itu, mereka mengajariku keistiqomahan terlebih pada keistiqomahan
menu makanan dengan lauk-pauk yang kaya protein nabati yang murah meriah (tahu/tempe),
hal-hal inilah yang membuatku semakin sadar betapa sederhananya hidupku, hidup
orang tuaku. Dan aku tahu aku memang bukan anak orang kaya. Kadang aku sedikit
iri dengan teman-temanku yang mempunyai fasilitas mewah, mempunyai kendaraan
pribadi, uang jajan yang selalu lebih, dan tentunya segala kebutuhan hidupnya
yang selalu dijamin oleh orang tua mereka.
Sampai
akhirnya kesederhanaan hidupku itu berlanjut sampai aku lulus SMA. Ketika
Bapakku dipanggil oleh Allah SWT untuk menghadap-Nya, aku semakin merasa
kesengsaraan hidup sudah mencapai stadium akhir. Aku seperti kehilangan harapan,
Bapakku yang selama ini mendukungku untuk selalu berprestasi di sekolah, dan
mencita-citakan diriku agar bisa menjadi bunga.
Ketika
aku lulus SMA aku bingung harus dibawa kemana kah masa depanku? Aku menjadi
semakin mengerti maksud dari perkataan Bapak, menjadi bunga keluarga berarti
menjadi orang yang berarti, seenggaknya aku bisa lebih menonjol dari
saudara-saudaraku. Memang benar dari ketiga kakakku tidak ada yang menempuh
pendidikan kuliah, mereka hanya sekolah sampai tingkat SMA, bahkan Mbak Eci,
kakak keduaku hanya sekolah sampai SMP, lalu dia pergi merantau ke pulau
seberang, dia memilih untuk melangsungkan hidupnya dengan bekerja sebagai TKW.
Begitu pula dengan kakakku lainnya yang semua perempuan, memilih untuk tidak
melanjutkan pendidikannya dengan berbagai alasan ingin langsung kerja saja
dapat uang, toh mau lanjut kuliah juga tidak ada biaya. Namun aku tidak mau
seperti mereka. Aku harus melakukan perubahan. Aku harus lebih baik dari
mereka. Aku ingin lebih sukses dan berprestasi. Sehingga aku bisa menjadi
teladan bagi kedua adikku yang saat ini masih duduk di kelas 5 SD dan 3 SMP untuk
bisa menjadi lebih sukses lagi. Lalu apa bisa aku meneruskan harapan Bapakku
untuk menjadi bunga?
“
Emak ndak punya uang untuk membiayai
kuliahmu, Nduk.” Ucap Emak setiap aku meminta izin untuk daftar kuliah.
Keinginanku untuk kuliah semacam
sudah berada di ubun-ubun. Bagaimana tidak? Aku selalu gelisah selama satu
tahun terkahir ini setelah kelulusanku. Aku melamar di berbagai lowongan
pekerjaan, menjadi karyawan di pabrik, menjadi pelayan di warung makan, bahkan
menjadi penjaga toko pun telah aku jalani demi melangsungkan kehidupanku. Sudah
berkali-kali aku ganti pekerjaan, namun aku selalu tidak betah. Aku merasa
masih ada satu fase dalam hidupku yang harus aku lampaui sebelum aku menginjak
dunia kerja, yaitu di bangku kuliah.
“
Dulu waktu bapakmu masih ada, Bapakmu saja tidak berani untuk membiayai kuliah
mbakyu-mbakyumu. Apalagi sekarang, Emak dapat uang darimana untuk biaya
kuliahmu, Nduk?
“
Tapi aku pengen kuliah Mak, aku pengen jadi sarjana.” rengekku. Berharap Emak
akan mengizinkan, dan nanti aku akan mencari kerja sambilan untuk mendapat
tambahan uang.
Hatiku
bergemuruh. Pikiranku berperang dengan batinku. Aku terus mengemis izin, seakan
aku tidak puas dengan alasan yang selalu Emak lontarkan bahwa dia tidak punya
uang. Aku mengerti memang Emak tidak punya banyak uang, aku tahu penghsilannya
sebagai penjual cendol di pasar tak seberapa. Sampai akhirnya kakak pertamaku,
Mbak Eta, mendukung keinginanku itu.
“
Sudahlah Mak, jangan pupuskan harapan Rumi untuk menjadi sarjana, aku akan
membantu untuk biaya kuliahnya, percayalah, pasti ada jalan rejeki untuk Emak.”
Katanya.
Aku
senang mendengarnya, walaupun penghasilan Mbak Eta, kakak pertamaku sebagai
buruh pengrajin enceng gondok ini tidak seberapa namun tekadnya untuk membantuku
sangat berarti sekali bagiku.
“
Allah itu tidak pernah tidur Mak, selalu ada buah yang manis di setiap tetesan
keringat kerja keras kita, itu kan yang selalu Emak ajarkan pada kami.” Ucap
Mbak Eta pelan. Emak hanya tertunduk diam, lalu dia mengusap pipinya. Aku
melihat ada bekas tetesan air mata yang mengalir lembut. Aku tahu perasaan
Emak. Aku tahu betapa perihnya perjuangannya untuk menghidupi keenam anaknya
selama ini. Dan betapa beratnya mengabulkan permintaan anak keempatnya ini yang
ngebet banget pengen kuliah.
Akhirnya
aku diterima di sebuah univesitas ternama di kota ini, dengan bekal satu ekor
sapi peninggalan Bapak, Emak menjual harta satu-satunya itu untuk biaya masuk
kuliahku. Aku senang sekali, semangatku semakin membuncah untuk menjadi sarjana
yang sukses. Segala daya dan upaya aku lakukan untuk mengikuti setiap mata
kuliahku. Aku tidak ingin membuat Emak kecewa, apalagi Bapak. Aku tidak pernah
sekalipun absen, aku selalu meminjam buku untuk bahan-bahan materi kuliah di
perpustakaan karena memang aku tidak punya cukup uang untuk membelinya. Setiap
hari aku menyusuri jalan dari rumahku menuju kampusku yang berjarak 30 km
dengan sepeda motor tua milik Almarhum Bapakku. Dan Alhamdulillah sejak awal
semester 3 aku mendapat beasiswa dari Universitas. Aku sangat bersyukur sekali,
itu artinya Emak tidak perlu memikirkan biaya semesteranku. Tapi aku tetap
perlu mencari tambahan penghasilan untuk biaya hidupku selama aku menempuh
kuliah. Dan menjadi tentor di bimbel adalah pilihan terbaikku untuk mendapat
tambahan penghasilan.
***
“Rumiyati,
S.Pd dengan predikat Cumlauded.” suara itu menggema di auditorium kampusku.
Berbagai rangkaian bunga mendarat di tanganku, ucapan selamat dari teman-teman
dan dosen-dosenku berdatangan. Mereka merangkulku penuh bangga. Terlebih wanita
yang paling berharga dalam hidupku, Emak.
“Selamat
ya nduk, Emak bangga denganmu. Selamat ” Dia memelukku dengan erat. Dan Aku pun
begitu. Tak pernah aku merasakan pelukan hangat seperti ini. Kami berpelukan
dalam tangis, air matanya mengalir deras membasahi toga ku. Aku tahu
perjuangannya cukup berat hidup tanpa suami dan membiayai kehidupan kami
berenam. Aku tahu tangis ini adalah tangis bahagia. Bagi Allah, segala sesuatu
tidak ada yang tidak mungkin. Berkat doa Emak, Allah memberikan kemudahan
studiku hingga akhirnya aku bisa menyelesaikan S-1 ku dalam kurun waktu 3 tahun
3 bulan 11 hari. Serta voucher beasiswa s-2, sebagai penghargaan prestasiku
sebagai mahasiswa lulus tercepat tahun ini telah berada di genggamanku. Aku
tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Bapak, semoga kau dapat melihat dari
sana. Aku lakukan semua ini demi Bapak, aku tahu apa yang aku lakukan ini masih
belum seberapa, namun seberat apapun, seperih apapun meski tak bisa harum, aku
tetap ingin menjadi bunga, menjadi bunga keluarga yang Bapak harapkan dariku.
0 komentar:
Posting Komentar