Lazismu kantor layanan Umbulharjo Aksi bersama untuk sesama salurkan Zakat Infaq Sodaqoh anda melalui rekening BNI Syariah 0457274314 a.n Lazismu Kantor Layanan Umbuharjo dan melalui rekening BUKOPIN Syariah 7709002554 a.n A.Rosyid QQ Lazismu KL.UH

Selasa, 02 Mei 2017

CERPEN PERTOLONGAN MELALUI INFAQ DAN SURAT YASIN

CERPEN

PERTOLONGAN MELALUI INFAQ DAN SURAT YASIN

Oleh : Sandra Ayu
Email : sandraayu_hrp@yahoo.com


 Sepasang bola mata teduh yang menyejukkan itu kali ini terlihat sendu, mulai berkaca-kaca. Lengannya yang tak terlalu kekar menarikku dalam pelukannya, ke dalam rengkuhan hangat yang menenangkan.

“Maafkan Uda ya Dek yang tak bisa lagi disini menemanimu.”
Aku melepaskan diri dari pelukannya, memandang setiap jengkal wajahnya dan berusaha tersenyum.
“Tidak apa-apa Uda. Disana ada tanggung jawab dan amanah yang harus Uda tunaikan. Kita sama-sama saling mendoakan, insyaAllah ini termasuk jihad fii sabilillah.”

Dia balas tersenyum, senyum penuh kedukaan. Kecupan di kening berlanjut salam perpisahan mengakhiri perjumpaan kami. Sampai saat itu aku masih sanggup untuk tidak mengeluarkan air mata dihadapannya. Barulah saat kendaraan penjemput yang mengantarnya ke bandara hilang dari pandanganku, dengan segera kututup pintu dan kujatuhkan badanku di tempat tidur sambil terisak.

Lelaki yang menikahiku satu setengah tahun lalu, kini harus pergi meninggalkanku dan calon buah hati kami mengemban amanah baru di sebuah kota yang terkenal dengan sebutan Kota Pelajar. Saat usia kandunganku menginjak delapan bulan, dia dinyatakan lulus seleksi beasiswa untuk mengikuti program Magister yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia dengan universitas tujuan yaitu Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta adalah kota yang telah lama diimpikannya bertahun-tahun lalu untuk melanjutkan studi setelah menyelesaikan pendidikan Strata 1 pada Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Tahun lalu dia telah mengikuti seleksi serupa namun rupaya belum menjadi bagian rezekinya.

Dua minggu menjelang prediksi melahirkan, sebenarnya jadwal perkuliahannya telah dimulai.
“Biar Uda tunggu saja sampai Adek melahirkan. Dana kita juga sudah tidak memungkinkan jika Uda harus bolak-balik Padang – Jogja,” ujarnya.

Memang tabungan kami telah menipis untuk mengurus tahap awal perkuliahannya. Sejak seleksi pertama sampai pendaftaran ulang, segala biaya ditanggung terlebih dahulu oleh peserta seleksi. Sementara dana beasiswa belum diketahui kapan cairnya. Berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya, beasiswa akan dicairkan menjelang akhir semester.

“Semoga saja Allah mempercepat kelahiran anak kita. Supaya Uda bisa menggendongnya, mengazankan, dan mengiqamahkannya sebelum keberangkatan. Tak sabar rasanya Uda mendengar tangis jundi kecil kita,” ucapnya terdengar bahagia. Matanya selalu berbinar-binar jika membicarakan makhluk mungil yang saat itu aktif menendang-nendang perutku.

Namun, kuasa Allah di atas segala-galanya. Meskipun telah mendekati hari perkiraan lahir yaitu tepat akhir bulan lalu, belum terlihat tanda-tanda akan melahirkan. Bahkan telah berlalu pula seminggu dari jadwal yang ditaksirkan oleh dokter kandungan dan bidan.

Akhirnya, suamiku dengan terpaksa berangkat menuju kota tujuannya siang ini.
Tangisku mulai mereda saat telepon selulerku berdering dan tertera nomor Amak. Amak dan Apak akan datang dari kampung untuk menemaniku menghadapi persalinan.

Keesokan harinya, dengan diantar Apak, aku datang ke RS. Aisyiyah Sumatera Barat untuk mencek kondisi janinku melalui ultrasonography (USG).

“Kondisi janin dan plasenta sehat, namun air ketubannya semakin sedikit. Usia kehamilan ibu sudah lewat bulan, yaitu sudah memasuki usia 42 minggu. Pada kondisi postterm seperti ini meningkatkan risiko terhadap ibu dan janin jika tidak segera diberi penanganan, seperti gawat janin bahkan kematian janin,” ujar dokter kandungan selepas memeriksaku.

“Jadi, Dok…?” tanyaku gemetar
“Ibu harus mulai dirawat sore ini. Saya khawatir melihat air ketuban yang semakin sedikit akan membahayakan janin,” ujarnya melanjutkan.
Mendengar kata dirawat, membuatku ketakutan.
“Saya ingin melahirkan normal, Dok. Saya tidak ingin dioperasi,” lanjutku kalut.
Sang dokter tersenyum.
“Ibu dirawat bukan berarti dioperasi. Posisi janin ini bagus, sehingga bisa diusahakan agar ibu melahirkan normal. Ibu perlu diinduksi, proses merangsang kontraksi untuk mempermudah proses persalinan. Namun, perlu kami jelaskan dari awal bahwa induksi juga tidak lepas dari berbagai risiko, salah satunya rasa sakit yang jauh lebih berat, stress janin, bahkan tak jarang proses ini gagal sehingga akhirnya harus dioperasi. Semuanya tergantung keputusan pasien. Silahkan ibu diskusikan dengan keluarga ibu terlebih dahulu.”

Di halaman rumah sakit aku langsung menghubungi Uda Al. Sambil terisak aku ceritakan apa yang terjadi. Saat itu pikiranku sangat kalut.
“Tenang, Dek. Kalau memang itu cara terbaik, kita ikuti saja. Jika ternyata cara tersebut banyak risikonya, tidak apa-apa operasi. Bagi Uda yang penting Adek dan bayi kita selamat,” ucapnya berusaha menenangkanku.
Mendengar ucapannya membuatku semakin terisak. Aku sungguh takut mendengar kata operasi sehingga dari awal aku berniat melahirkan normal. Sudah banyak cerita orang sekitar dan artikel yang kubaca tentang rasa sakit berkepanjangan setelah operasi caesar.

Akhirnya, setelah berdiskusi dengan Uda Al, Amak, dan Apak, aku bersedia untuk dilakukan induksi. Sore hari setelah melengkapi persyaratan administrasi, aku ditempatkan di kamar persalinan. Tepat pukul 19.00 WIB, perawat mulai menyuntikkan induksi ke infus yang terpasang di punggung telapak tanganku.

Satu jam kemudian, rasa sakit mulai terasa di bagian perutku. Rasa mulas yang hilang timbul. Perawat masih terus mengontrol kondisiku dan janin per satu jam sekali.
“Kak, rileks saja ya. Jangan stress. Kalau kakak stress, bayinya juga ikut stress di dalam. Dari tadi saya pantau detak jantung bayi tidak normal,” ujar perawat bernama Sonya mengingatkanku.

Hingga subuh datang, berdasarkan pemeriksaan dalam, ternyata aku baru mengalami pembukaan jalan lahir sepanjang 2 cm meskipun rasa sakit terus melanda. Waktu terus berjalan, tanpa terasa waktu dhuhur dan ashar pun telah tiba, namun tetap tidak ada perkembangan terhadap jalan lahir janin di dalam perutku, yaitu masih tetap 2 cm.

“Jika sampai jam 19.00 WIB nanti tidak ada kemajuan, ibu harus siap untuk operasi. Jangka waktu induksi hanya 24 jam karena kondisi air ketuban ibu sudah tidak memungkinkan untuk diperpanjang waktunya. Jika tidak segera dilakukan tindakan medis tersebut, akan sangat membahayakan janin,” demikian ujar kepala perawat sesaat selesai memeriksa kondisiku.

“Allah… aku ingin melahirkan normal. Aku tidak ingin perjuanganku menahan sakit belasan jam ini berakhir di meja operasi,” seruku dalam hati.
Segera kuraih handphone dan memanggil nomor Uda Al.

“Uda… hanya tinggal beberapa jam lagi batas waktu induksi berakhir. Adek kuatkan menahan rasa sakit ini hanya demi bisa melahirkan secara normal, apakah semuanya akan sia-sia?” isakku tertahan.

“Tidak ada yang sia-sia di mata-Nya, Dek. Perbanyak istighfar dan shalawat. Bacalah Surat Yasin, InsyaAllah akan dikabulkan apa yang menjadi hajat kita,” ujar Uda Al dengan suara lembut dan tenang. Aku mulai terbius dengan ketenangannya.
“Uda disini terus berdoa agar kalian selalu diberi kekuatan. Allah Maha Tahu yang terbaik buat kita, Dek. Kamu harus percaya itu, ya,” sambungnya dengan keharuan.

Ya, benar yang disampaikan Uda Al. Sejak mulai masuk ke rumah sakit, aku yang didera perasaan kalut, takut, dan bermacam fikiran buruk lainnya, menjadi irasional. Merasa bahwa aku hanya sendirian, tak ada penolong.

“Astagfirullah… astagfirullah…astagfirullah…. Ampuni hamba, Yaa Allah,” bisikku.
Kemudian aku meminta tolong kepada perawat untuk memanggilkan Amak yang saat itu berada di luar ruangan.

“Mak, tolong ini diinfaqkan kepada yang berhak dan membutuhkan. Jika sulit menemukannya di sekitar tempat ini, diinfaqkan saja melalui mesjid terdekat,” kataku kepada Amak sambil menyerahkan empat lembar uang lima puluh ribuan.

Setelah berlalunya Amak dari ruangan, aku raih handphone dan kuhidupkan MP3. Kupilih Surat Yasin di antara kumpulan file di folder musik religi. Kudekatkan suara dari handphone tersebut ke perut sambil kuusap-usap penuh kasih sayang.

“Sayangku, betapa kami merindukanmu. Ingin segera menggendong dan menimangmu. Berharap engkau segera hadir di antara kami. Ayo sayang, berjuanglah untuk bisa keluar secara normal,” bisikku menahan tangis sambil terus mengelus-elus perut.
“Ya Allah, permudahlah dan janganlah Kau sukarkan,” kata-kata ini terus aku gumamkan. Pada titik inilah aku merasa begitu lemah di hadapan-Nya, tak ada apa-apanya.

Memasuki pengulangan pembacaan Surat Yasin yang ke dua kalinya, aku merasakan rasa sakit yang amat sangat di perutku. Rasa sakit yang belum pernah kurasakan sebelumnya dan terjadi secara berkelanjutan. Rasa sakit yang teramat sangat sehingga seolah-olah rontok tulang-tulangku akibat rasa sakit ini. Rupanya, inilah proses kelahiran janinku. Dokter dan perawat hilir mudik membantu proses persalinan ini.

Akhirnya, tepat pukul 19.00 WIB untuk pertama kalinya aku mendengar tangisan bayi mungilku, anugerah terindah dari Sang Khalik. Saat bayi tersebut didekapkan ke dadaku, tak ada yang terlontar dari mulutku kecuali ucapan syukur berulang kali. Air mataku tak henti-hentinya menetes melihat makhluk mungil itu.

Di seberang pulau sana, sepasang bola mata yang teduh juga ikut berderai air mata bahagia saat kukabarkan atas kelahiran putri pertamanya. Iqamah segera ia lantunkan sambil kudekatkan handphone ke telinga bidadari kecil kami. Bidadari yang melalui kehadirannya selalu mengingatkan kami akan kekuasaan Illahi Rabbi.


***

0 komentar:

Posting Komentar